1. Komitmen dalam beraqidah
Seorang mukmin mengemban sebuah risalah (ajaran) dan prinsip. Dia senantiasa menyadari bahwa kelak dia akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah, tentang tugasnya dalam mengemban aqidah ini. Hendaknya, ia mempersiapkan jawaban apa yang akan dia kemukakan di hadapanNya!
Maksud kesungguhan dalam beraqidah adalah bahwa kita hidup dan berinteraksi penuh dengan aqidah. Hendaknya aqidah ini bagi kita lebih mahal daripada ibu, bapak, istri, anak dan saudara-saudara kita.
Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang-orang mukmin dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 111).
Kita hidup dengan aqidah, mati karena aqidah, rela karena aqidah dan kita marah juga karena aqidah. Kita tidak akan pernah melakukan tawar-menawar terhadap aqidah ini, meskipun dengan yang paling mahal sekalipun. Kita tidak akan pernah menjual aqidah ini dengan sesuatupun.
Kadang, seorang mukmin melepas sebagian dari nilai aqidahnya atau sesuatu dari akar aqidahnya, karena takut atau hendak memenuhi keinginan manusia. Hal ini merupakan kesalahan besar.
Coba perhatikan Habib bin Zaid Radhiyallahu anhu, seorang pemuda yang cerdik dan cerdas. Dengan tegar, Habib berangkat menemui Musailamah Al-Kadzdzab. Lalu Musailamah memintanya untuk murtad dari agama Islam. Habib menolak. Akhirnya Musalimah memotong sebagian anggota tubuhnya, sehingga terjatuh ke tanah. Namun Habib tetap menolak untuk murtad. Lalu Musailamah memotong kembali bagian tubuhnya yang lain, namun dia tetap tegar dan menolak untuk murtad. Untuk ketiga kali anggota tubuhnya dipotong lagi, hingga seluruh jasadnya habis terpotong, Habib tetap tidak bergeming dan tidak murtad dari Islam.
Coba perhatikan lagi Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi Radhiyallahu anhu, yang pergi menjumpai raja Persia (ada yag mengatakan menghadap raja Romawi). Kepadanya, diperlihatkan jasad-jasad kaum muslimin yang direbus di dalam kuali-kuali besar. Maka sang raja berkata kepadanya : “Maukah kamu kembali dari agamamu (murtad dari Islam) dan kamu akan mendapatkan setengah kerajaanku?!” Dengan tegar Abdullah mengatakan, “Demi Dzat yang tidak ada Dzat yang berhak diibadahi selainNya, aku takkan sudi melakukan hal itu, sekalipun kamu memberikan semua kerajaanmu, kerajaan bapak dan nenek moyangmu.”
Bahkan lebih dari itu lagi, sebagian kaum muslimin dibakar dengan api, namun mereka tetap tegar mempertahankan kalimat “La Ilaha Illallah” hingga mereka menemui ajal.
Coba hayati lagi ketegaran Khubaib bin Adi Radhiyallahu anhu yang dibawa menuju tiang gantungan. Tetapi dia dengan penuh keyakinan dan iman yang membaja mendendangkan bait syair :
“Aku takkan peduli, bagaimanapun bentuk kematianku Ketika menghadap Allah, selagi kematianku sebagai seorang muslim karena Allah semata,
Kalau Sang Pencipta Menghendaki, Dia akan memberkahi tiap sayatan tubuhku dan percikan darahku yang tercincang dan berserakan.”
Hingga akhirnya Khubaib menemui kesyahidannya dalam keadaan iman yang tegar, tidak murtad dari agamanya. Ketika Khubaib Radhiyallahu anhu berada di tiang gantungan, Abu Sufyan bin Harb berkata kepadanya : “Wahai Khubaib, relakah kamu sekiranya Muhammad berada di sini, menggantikan posisimu ini?” Khubaib menjawab, “Demi Allah -yang jiwaku dalam kekuasaanNya- aku tidak akan rela berada di tengah-tengah harta dan keluargaku, sementara Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam terkena duri sekalipun.”
2. Komitmen pribadi
Hendaknya kita menjadi seorang yang alim dan mengetahui cara berbicara yang baik, percaya kepada diri sendiri, dan terbebas dari segala bentuk perbudakan kepada selain Allah.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang beriman yang lemah.” (HR. Muslim)
Suatu ketika, Ummul Mukminin Aisyah melihat sekelompok pemuda yang berjalan dengan gontai, lemah, loyo dan bermalas-malasan. Hal itu menandakan mereka sangat lemah -mereka adalah sekelompok pemuda yang ahli ibadah, ahli zuhud dan ahli qana’ah-.
Aisyah Radhiyallahu anhu bertanya, “Apa yang terjadi dengan sekelompok pemuda itu?” Ada yang menjawab, “Para pemuda tersebut adalah orang-orang yang hali ibadah, ahli qana’ah dan ahli zuhud.” Aisyah berkata, “Demi Allah yang jiwaku dalam genggamanNya, sesungguhnya Umar (bin Khaththab) adalah orang yang lebih banyak ibadahnya, lebih hebat zuhudnya dan lebih takut kepada Allah daripada mereka. Namun apabila Umar memukul, pukulannya menyakitkan. Apabila dia berbicara, pembicaraannya akan didengar. Dan apabila dia berjalan, maka jalannya cepat.
Maka, berpeganglah kita kepada kekuatan pribadi kita ketika berbicara, ketika bergerak dan ketika berjalan.
3. Komitmen dalam penampilan
Hendaknya kita memakai pakaian yang rapi, indah dan menarik, sehingga di hadapan manusia kita dipandang sebagai seseorang yang sarat nilai-nilai keagamaan. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, “Perbaikilah kendaraan dan pakaian kalian. Sehingga kamu kelihatan seolah-olah menjadi aroma yang tersebar di tengah-tengah manusia.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim)
Maka, di sini saya mengharapkan kepada diri saya dan kepada saudara-saudara saya para generasi muda, agar senantiasa memakai wewangian dan mengenakan pakaian yang rapi, indah dan menarik. Pakaian yang memperlihatkan kedisiplinan dan agama mulia nan agung. Kita juga tidak membenarkan golongan sesat dari penganut kaum sufi, yang penampilanya berantakan, yang mencemarkan nama baik agama dan mencoreng muka agama itu sendiri.
4. Komitmen pada ambisi yang luhur
Dalam melakukan shalat, kita tidak rela kecuali shalat yang paling sempurna, paling khusyu dan paling bagus. Dalam menuntut ilmu, kita tidak rela kecuali dengan ilmu yang sampai hingga akar-akarnya dan kita benar-benar profesional serta ahli di bidang tersebut. Dalam hal spesialisasi, kita tidak rela kecuali kita menjadi seorang pakar yang nomor satu di dalamnya. Maka saya mengharapkan kepada saudara-saudara kita, supaya mereka menjadi para imam. Hendaknya mereka menjadi para mufti di masa-masa mendatang. Dalam waktu dekat ini mereka menjadi para imam mujtahid yang akan membimbing umat ini dengan fatwa mereka, firman Allah dan sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.
-Fityatun Amanu bi Rabbihim-