Kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa orang yang telah meninggal dapat menerima manfaat dari usaha orang yang masih hidup dalam dua hal :
1. Apa-apa yang (diusahakan oleh) orang yang telah meninggal (kebaikan bagi orang lain) di masa hidupnya. Hal itu dapat menjadi sebab diterimanya manfaat dari usaha orang yang masih hidup.
2. Perbuatan-perbuatan baik yang shalih dari orang-orang yang hidup apabila dikerjakan dan disengaja dengannya untuk taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah kemudian dihadiahkan pahalanya kepada mayit, maka niscaya akan sampai kepadanya, insya Allah. Hal ini sesuai dengan perbedaan pandangan diantara mereka tentang sebagian ibadah [1] :
a. Setiap amal ibadah yang dikerjakan oleh manusia dan diperuntukkan pahalanya kepada seorang muslim yang telah meninggal dunia adalah boleh dan akan berguna pahalanya bagi orang yang telah meninggal.
Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah, sejumlah sahabat Imam Asy-Syafi’i dan yang lainnya [2]. Mereka berkata : “Orang yang telah meninggal akan sampai kepadanya setiap kebaikan berdasarkan nash-nash yang ada [3].
b. Tidak sampai kepada mayit, kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan (untuk) memberikan hadiah kepada mayit, yaitu beruba do’a, sedekah, haji dan umrah.
Adapun di luar itu tidak sampai kepadanya dan tidak pula disyariatkan perbuatannya dengan niat memberikan hadiah, itulah pendapat yang populer dari madzhab imam Asy-Syafi’i dan imam Malik [4].
Dalil-dalil kelompok pertama
Kelompok pertama berdalil untuk menguatkan pendapat mereka yang menyatakan tentang sampainya pahala do’a dan sedekah, yaitu :
1. Sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam :
“Apabila anak Adam meninggal, terputuslah amalnya kecuali tiga hal : sedekah jariyah, anak shalih yang mendo’akannya dan ilmu yang bermanfaat baginya sepeninggalnya”[5]
2. Hadits Aisyah Radhiyallahu anha yang menceritakan bahwa ada seorang pria datang menghadap Nabi dan berkata :
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya kira seandainya sempat berbicara, niscaya ia akan bersedekah. Adakah baginya pahala jika saya bersedakah untuknya?” Jwab beliau : “Ya.” [6]
3. Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma yang menceritakan bahwa seorang wanita dari Juhainah datang menghadap Nabi dan berkata : “Ibuku telah bernadzar untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi sebelum sempat melaksanakannya, ia telah meninggal dunia. Bolehkah aku melaksakan haji untuknya?” Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda : “Berhajilah untuknya, bagaimana menurutmu kalau ibumu memiliki hutang, haruskah engkau melunasinya? Lunasilah hutangnya kepada Allah karena hutang itu lebih berhak untuk dilunasi.” [7]
4. Hadits Aisyah Radhiyallahu anha, yang menceritakan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa meninggal dunia dan masih memiliki hutang kewajiban puasa, hendaklah walinya berpuasa untuknya.” [8]
Kalangan Ahnaf mengecualikan puasa dari ibadah-ibadah ini. Mereka berkata : “Bagi wali, hanya memberikan makanan (yang pahalanya) untuk orang yang meninggal, bukan melaksakan puasa. Alasannya ialah hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda :
“Seseorang tidak boleh shalat untuk menggantikan shalat orang lain, tidak boleh puasa untuk menggantikan puasa orang lain, tetapi memberikan makanan darinya setiap hari sebanyak satu mud biju gandum.” [9]
Mereka berkata : “Kaum muslimin sepakat bahwa pelunasan hutang dapat membebaskan jenazah dari tanggungannya (siksanya) sekalipun (pelunasan itu) dilakukan oleh orang lain, bukan berasal dari harta peninggalannya. Ini ditunjukkan oleh hadits Abu Qatadah yang menceritakan bahwa ia pernah menanggung (melunasi) hutang sebesar dua dinar dari seorang jenazah. Tatkala ia melunasinya, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Sekarang kulitnya telah menjadi dingin (meringankan penderitaannya.)” [10]
Semua itu berlaku sesuai dengan kaidah-kaidah syariat, dan murni qiyas, sebab pahala adalah hak bagi orang yang beramal. Oleh karena itu, apabila pahala tersebut diberikan kepada saudaranya, tentu tidak ada yang dapat menghalanginya dari hal itu, sebagaimana tidak dilarang bila ia memberikan hartanya ketika ia masih hidup dan membebaskan tanggungan darinya setelah wafatnya. Sumber syariat pun telah memberitahukan tentang sampainya pahala puasa, puasa bacaan (Al-Qur’an), dan sebagainya diantara ibadah-ibadah badaniyah.
Dijelaskan bahwa puasa adalah perbuatan menahan diri dari segala yang membatalkannya, yang disertai niat. Sumber syariat telah menyampaikan keterangan tekstual tentang sampainya pahala puasa kepada orang yang meninggal, maka bagaimana dengan bacaan Al-Qur’an yang merupakan perbuatan dan niat. [11]
Dalil-dalil kelompok kedua :
Pendukung kelompok kedua berdalil tentang sampainya pahala do’a, sedekah, dan haji dengan dalil-dalil yang sama seperti yang digunakan oleh kelompok pertama sebelumnya.
Imam Asy-Syafi’i berkata : “Disampaikan (pahala) kepada orang yang meninggal dari tiga amalan orang lain, yaitu haji yang dilaksanakan untuknya, harta yang disedekahkan untuknya atau yang dilunasi untuknya, dan do’a. Adapun selain itu, termasuk shalat atau puasa, hanyalah milik pelaku dan tidak sampai kepada orang yang meninggal. Kita mengatakan ini dengan merujuk kepada sunnah tentang haji, sedang umrah diqiyaskan dengan haji. Hal ini pun hanya berlaku untuk yang wajib, bukan yang sunnah, karena tidak boleh bagi seseorang untuk menghajikan orang lain yang haji itu sebagai haji sunnah sebab haji termasuk amalan badaniyah.
Mengenai harta, sesungguhnya seseorang mempunyai kewajiban memenuhi apa-apa yang pada harta itu terdapat hak Allah, berupa zakat dan sebagainya, karena itu memadai bila dilaksanakan oleh orang lain atas perintahnya. Sebab, yang dikehendaki dari tujuan zakat itu adalah menyampaikan kepada yang berhak menerimanya. Contohnya, sesuatu yang difardhukan Allah pada hartaku apabila dikerjakan atas perintahku, niscaya terpenuhi kewajiban itu untukku.
Adapun do’a, sesungguhnya Allah telah menganjurkan hamba-hambaNya untuk melakukannya dan meminta Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam untuk melaksanakannya. Dengan demikian, apabila dibolehkan berdo’a untuk saudara yang masih hidup, bararti boleh pula berdo’a untuk yang telah meninggal, dan insya Allah, keberkahan akan sampai kepadanya. Di samping itu, Allah Mahaluas rahmaNya untuk memenuhi pahala bagi orang yang hidup dan menyampaikan manfaatnya kepada orang yang telah meninggal. Demikian pula setiap kali seseorang bertathawwu’ (sedekah sunnah) untuk orang lain melalui sedekah tathawwu’.”[12]
Pendukung pendapat ini membedakan antara ibdah-ibadah yang sah jika diwakili, yaitu ibadah maliyah dan ibadah-ibadah yang tidak sah padanya niyabah (perwakilan) itu, yaitu amal-amal perbuatan badaniyah. Mereka membolehkan pada amal-amal perbuatan maliyah karena dibolehkan niyabah padanya, sebagaimana memperbolehkan ibadah-ibadah yang terdapat keterangan tekstual padanya dan melarang pada yang selain itu.
Pendapat Yang Rajih (Kuat)
Pendapat yang rajih -Wallahu a’lam- adalah kelompok kedua. Pendapat kedua adalah pendapat Imam As-Syafi’i dan Imam Malik, serta para ulama yang sependapat dengan mereka, yaitu membatasi pada ibadah-ibadah yang terdapat keterangan tekstual padanya dan mencegah pada yang selain itu.
Alasan Tarjih (Pemilihan Dalil Yang Lebih Kuat)
Pertama : Prinsip dasar di dalam ibadah itu adalah tawaqquf (diam) sampai terdapat dalil yang menunjukkan pensyariatannya. Sementara itu, di sini hanya terdapat dalil yang menunjukkan pensyariatan sebagiannya saja sehingga diharuskan untuk meninggalkan selain itu.
Kedua : Tidak pernah terdengar pada nash Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya bahawa ada seseorang yang membaca Al-Qur’an lalu menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal. Seandainya itu merupakan kebaikan, pastilah mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya karena mereka adalah orang yang paling mengetahui agama Allah dan RasulNya.
Ketiga : Pemberlakuan qiyas terhadap ibadah-ibadah yang diterangkan oleh dalil dapat membukakan pintu bagi ahli bid’ah untuk memasukkan apa saja yang mereka sukai ke dalam agama Allah.
Keempat : Para ahli bid’ah pada masa sekarang telah mengada-adakan hal-hal yang bathil, seperti mengupah para qari untuk membaca Al-Qur’an dan sebagainya, yang sering dilakukan terhadap jenazah beberapa waktu setelah kematiannya. Oleh karena itu, menutup pintu ini berarti tidak memberikan peluang kepada mereka untuk berbuat sesukanya.
Kelima : Kebanyakan manusia pada masa sekarang (kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah) telah melupakan ibadah-ibadah yang disyari’atkan. Sesungguhnya terdapat dalil shahih tentang bolehnya menghadiahkan pahala untuk orang yang telah meninggal. Sebaliknya, mereka berpegang kepada apa-apa yang tidak terdapat dalil padanya.
Jadi, manfaat dari keluarnya larangan tentang masalah ini adalah dapat mengembalikan orang kepada sunnah yang telah diriwayatkan dengan benar dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
Catatan kaki :
[1] Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyyah (452)
[2] Al-Mughni (II/567) dan Al-Majmu’ oleh An-Nawawi (XV/521)
[3] Majmu’ Fatawa (XXIV/309-325)
[4] Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyyah (452) dan Al-Majmu’ oleh An-Nawawi (XV/521)
[5] HR. Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Abu Hurairah (III/1255)
[6] HR. Al-Bukhari di Kitab “Al-Jana-iz” (I/467) dan Muslim di kitab “Az-Zakah” (II/692)
[7] HR. Al-Bukhari di Kitab “Al-Ihshar wa Jana-ush Shaid” (II/656-657)
[8] HR. Al-Bukhari di kitab “Ash-Shaum” (II/690) dan Muslim (II/803)
[9] HR. Ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar (III/141) dari Ibnu Abbas dan sanadnya Shahih. Lihat kitab Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyyah (453)
[10] HR. Al-Hakim dalam Mustadrak-nya (II/58). Ia berkata : “Sanadnya Shahih.” Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Lihat : Ahkamul Jana-iz oleh Al-Albani (16)
[11] Lihat : Ath-Thahawiyah (454, 455), Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah (VI/567), dan Al-Inshaf (II/558)
[12] Al-Umm (IV/120) dan Manaqibusy Syafi’i (I/430-431)
Manhaj al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala fi Itsbat al-Aqidah
Oleh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aql