Di antara ulama salaf ada yang berjalan bermalam-malam dan berhari-hari dengan kedua kakinya untuk mencari tahu sebuah hadits. Dia tidak pernah bosan dan tidak pula jemu. Dia berselimutkan langit dan tempat pembaringannya adalah debu-debu. Dia minum dari air kolam, berbantalkan gundukan pasir, dan bersandar pada bebatuan. Perut kosong dan keroncongan. Hingga akhirnya dia berhasil mempersembahkan kepada umat Islam turats (peninggalan) yang penuh berkah, yang akan dia dapatkan pahalanya di hari dimana tidak ada lagi bermanfaat harta benda dan anak-anak.
Diantara mereka ada yang menulis di bawah sinar rembulan. Jika rembulan telah tenggelam, dia bangkit untuk shalat subuh. Jika pagi telah tiba, dia berkeliling dari satu majelis ilmu ke majelis ilmu yang lain. Mencari ilmu, menulis, bertanya dan dia tidak tidur kecuali sekedar kebutuhan.
Imam An-Nawawi menghafal setelah fajar dan mengulangi hafalannya setelah maghrib. Dia belajar di awal siang sebanyak dua belas pelajaran, dan menulis di waktu siang. Bangun malam, puasa siang. Dia meninggal pada usia empat puluh tahun. Allah telah mengabadikan namanya dan mengangkat derajatnya, dan menebarkan ilmunya di seluruh semesta.
Apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang telah mencapai usia 70-an, 80-an atau 90-an? Sekedar rutinitas hidup? Dimana awalnya laksana akhirnya. Berulang-ulang, namun tidak ada sesuatu yang baru di dalamnya. Kehidupan berat dan membosankan.
Allah Ta’ala berfirman :
“Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Muthaffifin : 4-6)
Hinggapun Ulama-Ulama Kontemporer
Saya kenal beberapa orang dimana saya hidup dengan mereka, namun hanya sedikit orang yang seperti mereka. Diantara mereka ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an sebulan tiga kali, shalat tahajjud dan puasa, selalu membentengi dirinya dari ghibah, dan memiliki dzikir khusus yang tidak lepas dari dirinya.
Saya kenal diantara mereka yang memiliki kemahiran dalam bidang qiraat setelah melalui usaha keras dan kesabaran. Dia mengulang-ulang Fath Al-Bari, Al-Mughni, Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurthubi beberapa kali.
Diantara mereka ada yang menghafal hadits-hadits dari Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ada yang menghafal ribuan hadits, puluhan syair. Namun sayangnya, yang seperti mereka ini laksana buluh putih pada sapi hitam. Sangat sedikit!
Sebaliknya banyak orang yang menuntut ilmu secara zhahir, namun sebenarnya mereka adalah orang awam secara batin. Baju, tampilan, cara duduk, berdiri dan berbicara seperti para syaikh, namun mereka tidak hafal sebagian besar Al-Qur’an, tidak ingat sekian banyak hadits, dan tidak menguasai buku-buku referensi. Berat bagi mereka untuk mengulang-ulang pelajaran, mengulangi membaca Al-Qur’an, atau menghafal hadits, namun ringan buat mereka untuk berbicara ngalor ngidul, ghibah, memberi kritikan yang disangkanya konstruktif, bahkan mereka senang berkunjung ke tempat-tempat minuman ringan dan begadang sambil mengobrol obrolan murahan. Ya Allah, kami harap ampunan-Mu.
-Hadaa’iq Dzatu Bahjah-