Muhammad Yusrinal

Yang Terbaik Diantara Kalian Adalah Yang Mempelajari Al-Qur'an Dan Yang Mengajarkannya

Allah Ta’ala berfirman :

“Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya (shalat itu merupakan) kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa : 103)

Maksudnya, wajib dalam waktu-waktu tertentu.

Allah Ta’ala berfirman :

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh Malaikat).” (QS. Al-Isra : 78)

Ayat yang terakhir ini tercantum di dalamnya waktu shalat. Firman Allah Ta’ala : “Dari tergelincirnya matahari,” berarti condongnya matahari dari posisi tengah-tengah langit ke sebelah barat. Itulah awal masuknya waktu shalat zhuhur. Termasuk di dalamnya juga waktu Ashar. Sedangkan firmanNya “Sampai gelap malam,” berarti, permulaan gelap malam. Ada juga yang menyatakan, yaitu tenggelamnya matahari. Darinya disimpulkan masuknya waktu shalat Maghrib dan shalat Isya. Sedangkan firmanNya “Qur’anal Fajri,” berarti shalat Shubuh. Di dalam ayat tersebut terdapat isyarat global yang menunjukkan waktu-waktu shalat lima waktu.[1]

Adapun waktu shalat lima waktu dapat dirincikan sebagai berikut :

Pertama, Waktu shalat Zhuhur, berawal dari matahari zawal (condong ke arah barat) sampai saat bayangan segala sesuatu sudah sama dengan panjangnya.

Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda :

“Waktu shalat Zhuhur adalah ketika matahari tergelincir sampai bayangan seseorang sama dengan panjangnya, selama belum masuk waktu Ashar.”[2]

Juga didasarkan pada hadits Jabir Radhiyallahu anhu mengenai Jibril yang mengimami Nabi dalam shalat lima waktu selama dua hari. Jibril mendatangi beliau pada hari pertama seraya berucap : “Berdirilah dan kerjakan shalat Zhuhur.” Beliau pun mengerjakan shalat Zhuhur pada saat matahari tegelincir. Keesokan harinya Jibril datang lagi untuk mengerjakan shalat Zhuhur seraya berucap : “Berdirilah dan kerjakanlah shalat Zhuhur.” Beliau pun mengerjakan shalat Zhuhur ketika bayangan segala sesuatu sama dengan panjangnya.” Kemudian Jibirl berkata kepada beliau pada hari kedua : “Antara kedua shalat tersebut terdapat waktu (Zhuhur).”[3]

Saya pernah mendengar yang mulia Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah mengatakan : “Yang disunnahkan adalah mengakhirkan waktu shalat Zhuhur pada saat udara sangat panas, baik ketika dalam perjalanan maupun tidak, tetapi jika orang-orang membiasakan diri untuk menyegerakan shalat karena adanya masyaqqah (kesulitan) bagi mereka, niscaya hal itu akan terasa ringan karena mengakhirkan shalat itu merupakan suatu yang memberatkan mereka.”[4]

Adapun pada waktu udara tidak panas, yang paling afdhal adalah mengerjakan shalat di awal waktu. Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia bercerita : “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, ‘Apakah amalan yang paling afdhal?’ Beliau menjawab, ‘Shalat di awal waktu’.”[5]

Saya juga pernah mendengar al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan : “Yakni, di awal waktu shalat setelah waktu shalat itu masuk. Namun, jika anda shalat pada saat berlangsungnya waktu shalat itu atau di akhir waktu, tidak ada dosa, karena Nabi Shalallahu alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat di awal waktu dan terus berusaha memeliharanya kecuali dalam dua keadaan : Pertama, Pada shalat Isya jika orang-orang terlambat datang hingga mereka semua berkumpul. Kedua, Pada shalat Zhuhur ketika matahari sangat terik. Adapun shalat Maghrib, beliau lebih cepat datang dan para sahabat biasa mengerjakan shalat dua raka’at sebelumnya. Sedangkan waktu-waktu shalat lainnya lebih luas daripada shalat Maghrib.”[6]

Kedua, Waktu shalat Ashar, dimulai sejak keluarnya waktu Zhuhur yakni jika bayangan segala sesuatu sama dengan panjangnya, berarti telah masuk waktu shalat Ashar hingga matahari menguning atau sampai bayangan segala sesuatu mempunyai panjang dua kali lipat. Waktu shalat Ashar ini mendekati kuningnya matahari, tetapi waktu menguningnya matahari lebih lama. Diwajibkan mendahulukan shalat sebelum matahari menguning.

Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhuma :

“Waktu Shalat Ashar itu selama matahari belum menguning.”[7]

Juga hadits Jabir Radhiyallahu anhu : Tentang imamah Jibril untuk Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dia berkata : “Berdiri untuk kerjakan shalat Ashar.” Beliaupun mengerjakan shalat Ashar ketika bayangan segala sesuatu sama dengan panjangnya. Kemudian Malaikat itu datang pada hari kedua seraya berkata : “Berdiri dan kerjakanlah shalat Ashar.” Beliaupun mengerjakan shalat Ashar ketika bayangan segala sesuatu sama dengan dua kali lipatnya.[8]

Yang demikian itu merupakan pilihan waktu, sejak bayangan segala sesuatu sama dengan panjangnya sampai matahari menguning. Adapun waktu darurat adalah jika matahari telah menguning sampai matahari terbenam. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa mendapatkan satu raka’at shalat Subuh sebelum matahari terbit bararti dia telah mendapatkan shalat Subuh (secara penuh). Dan barangsiapa mendapatkan sata raka’at Ashar sebelum matahari terbenam berarti dia telah mendapatkan shalat Ashar (sepenuhnya).”[9]

Jika hal itu disengaja, diapun telah mendapatkannya, hanya saja dia berdosa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :

“Yang demikian itu merupakan shalat orang munafik. Dia duduk-duduk mengawasi matahari hingga jika matahari itu diantara kedua tanduk setan (hampir terbenam), dia berdiri mengerjakan shalat empat raka’at dengan sangat cepat (seperti burung mematuk) dalam raka’at itu. Dia tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.”[10]

Jika hal itu dilakukan karena lupa atau tertidur, dia telah mendapatkan waktu dan menunaikan shalat pada waktunya.[11]

Ketiga, Waktu shalat Maghrib, dimulai sejak matahari terbenam sampai terbenamnya syafaq (teja) merah. Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhuma :

“Waktu shalat Maghrib itu adalah selama syafaq belum hilang.”[12]

Yang lebih afdhal adalah shalat di awal waktu. Hal itu didasarkan pada hadits Jabir Radiyallahu anhu tentang imamah Jibril bagi Nabi Shalallahu alaihi wa sallam : “Jibril pernah mendatangi beliau pada waktu Maghrib seraya berkata : ‘Berdiri dan kerjakanlah shalat Maghrib.’ Beliau pun mengerjakan shalat Maghrib ketika matahari terbenam. Kemudian Jibril mendatangi beliau lagi pada hari kedua pada waktu Maghrib masih belum berlalu dari beliau.”[13]

Serta berdasarkan pada hadits Rafi bin Khudaij Radhiyallahu anhu, dia bercerita : “Kami pernah mengerjakan shalat Maghrib bersama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam lalu salah seorang diantara kami pergi, dan sesungguhnya dia dapat melihat tempat jatuhnya anak panahnya.”[14]

Saya pernah mendengar yang mulia Al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berbicara tentang hadits ini, beliau mengatakan : “Hadits ini menunjukkan bahwa bersegera mengerjakan shalat Maghrib merupakan sunnah yang sudah tetap. Hal itu menunjukkan bahwa waktu shalat Maghrib adalah satu waktu (sekali shalat), tetapi akhir waktu shalat Maghrib adalah terbenamnya syafaq merah.”

Yang sunnah dikerjakan adalah mengerjakan shalat dua raka’at setelah adzan dikumandangkan baru kemudian mengerjakan shalat Maghrib. Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Mughaffal al-Muzani Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda :

“Kerjakanlah shalat sebelum shalat Maghrib.” Setelah ketiga kalinya beliau bersabda : “Bagi yang menghendaki.” Yang demikian itu karena beliau khawatir orang-orang akan menganggapnya sebagai sunnah.”[15] (Yakni jalan yang wajib lagi biasa dijalankan dan mereka tidak mau meninggalkannya).[16]

Dalam riwayat yang lain disebutkan : “Nabi Shalallahu alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat dua raka’at sebelum shalat Maghrib.”[17]

Dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu disebutkan : “Pada masa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, kami pernah mengerjakan shalat dua raka’at setelah matahari terbenam dan sebelum shalat Maghrib.”[18]

Anas Radhiyallahu anhu juga bercerita : “Kami tiba di Madinah, tiba-tiba Mu’adzdzin mengumandangkan adzan shalat Maghrib. Para sahabat pun bergegas mendatangi sisi masjid lalu mereka mengerjakan shalat dua raka’at sampai-sampai ada orang asing masuk masjid dan mengira bahwa shalat Maghrib telah dikerjakan karena banyak orang yang mengerjakan shalat sunnah dua raka’at tersebut.”[19]

Hal tersebut menunjukkan bahwa sunnah ini telah ditetapkan melalui lisan, perbuatan, sekaligus persetujuan.

Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa yang sunnah dikerjakan adalah segera mengerjakan shalat Maghrib setelah mengerjakan dua raka’at shalat sunnah, setelah adzan dikumandangkan. Sedangkan waktu antara adzan dan iqamah itu sangat pendek.

Keempat, Waktu shalat Isya, dimulai dari terbenamnya Syafaq sampai pertengahan malam. Sedangkan waktu darurat adalah sampai terbit fajar. Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhuma :

“Waktu shalat Isya itu sampai paruh malam yang pertengahan.”[20]

Juga berdasarkan hadits Jabir Radhiyallahu anhu tentang imamah Jibril untuk Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, dia bercerita : “Jibril mendatangi Nabi pada waktu Isya seraya berucap : ‘Berdiri dan kerjakanlah shalat Isya.’ Beliapun mengerjakan shalat Isya ketika syafaq terbenam. Kemudian pada hari kedua Jibril mendatangi beliau pada saat pertengahan malam telah berlalu, dan beliau pun mengerjakan shalat Isya.”[21]

Adapun waktu setelah pertengahan malam sampai terbut fajar merupakan waktu darurat bagi yang lupa atau tertidur. Hal itu sesuai dengan hadits Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda :

“Ketahuilah bahwasanya tidur itu tidak berarti menyia-nyiakan shalat, tetapi yang berarti menyia-nyiakan shalat adalah orang yang tidak mengerjakan shalat sampai masuk waktu shalat yang lain. Barangsiapa mengerjakan hal tersebut, hendaklah dia mengerjakannya ketika dia teringatnya.”[22]

Berkenaan dengan waktu shalat Isya, yang afdhal adalah mengakhirkannya dengan syarat tidak boleh lewat waktu jika hal itu tidak memberatkan. Jika dalam rombongan perjalanan atau berada di pedalaman atau pedesaan, mengakhirkan waktu shalat Isya adalah lebih baik, jika hal itu tidak memberatkan seorang pun dari mereka. Dari Aisyah Radhiyallahu anha, dia bercerita : “Pada suatu malam, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam tidak tidur sampai seluruh malam berlalu dan jama’ah masjid tertidur kemudian beliau keluar dan mengerjakan shalat seraya bersabda : ‘Sesungguhnya inilah waktu shalat Isya (yang sebenarnya) andaikan aku tidak khawatir akan memberatkan umatku’.”[23]

Ini dalil yang menunjukkan bahwa akhir waktu shalat Isya adalah waktu terbaik. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam sendiri senantiasa memperhatikan untuk senantiasa memberi yang teringan bagi umatnya.

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata : “Shalat Isya itu terkadang (disegerakan) dan terkadang (diakhirkan). Jika beliau melihat mereka telah berkumpul, beliau menyegerakannya dan jika beliau melihat belum berkumpul, beliau mengakhirkannya.”[24]

Untuk memperlihatkan perlunya memelihara waktu Isya, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam tidak suka tidur sebelum mengerjakan shalat Isya. Di dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami Radhiyallahu anhu : “Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam suka mengakhirkan shalat Isya yang kalian sebut dengan ‘Atamah, dan beliau tidak suka tidur sebelumnya dan berbicara setelahnya.”[25]

Saya pernah mendengar Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan : “Dimakruhkan tidur sebelum shalat Isya karena tidur bisa menghilangkan shalat Isya. Dimakruhkan juga berbincang-bincang setelahnya karena perbincangan seringkali melupakan shalat Subuh.”[26]

Kelima, Waktu shalat Subuh, yang utama dari terbit fajar Shadiq putih, yaitu fajar kedua sampai berakhirnya gelap malam karena Nabi Shalallahu alaihi wa sallam biasa mengerjakannya pada waktu gelap malam masih pekat. Waktu (diperbolehkannya) shalat Subuh berakhir sampai terbit matahari.[27]

Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhuma :

“Waktu shalat Subuh itu sejak terbit fajar sebelum belum terbit matahari.”[28]

Diantara dalil yang memperkuat pentingnya menyegerakan shalat Subuh dan mengerjakan pada waktu malam masih pekat adalah hadits Jabir Radhiyallahu anhu tentang imamah Jibril untuk shalat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, yang di dalamnya disebutkan : “Kemudian Jibril mendatangi beliau pada waktu shalat Subuh seraya berkata : ‘Kerjakanlah shalat Subuh.’ Beliau pun mengerjakan shalat Subuh ketika fajar telah terbit atau ketika fajar telah bersinar. Kemudian Jibril mendatangi beliau lagi keesokan harinya ketika pagi sudah terang lalu dia berkata kepada beliau : ‘Berdiri dan kerjakanlah shalat Subuh.’ Beliau pun mengerjakan shalat Subuh kemudian berkata : ‘Antara kedua shalat itu terdapat waktu (Subuh)’.”[29]

Nabi Shalallahu alaihi wa sallam sendiri tidak tergesa-gesa untuk mengerjakan shalat Subuh dan tidak juga menunda-nunda pelaksanaannya dari waktu yang diutamakan. Di dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami Radhiyallahu anhu disebutkan : “Beliau baru selesai shalat Subuh ketika seseorang telah mengenal orang yang duduk di sampingnya. Beliau membaca dalam shalat itu 60 sampai 100 ayat.”[30]

Di dalam hadits Jabir Radhiyallahu anhu juga disebutkan : “Mengenai shalat Subuh, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam biasa mengerjakannya pada waktu malam masih pekat.”[31]

Saya juga pernah mendengar yang mulia Al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan : “Yang disebut al-ghalas adalah waktu fajar yang sudah terang, yang padanya masih terdapat sedikit gelap dari akhir malam.”[32]

Adapun hadits Rafi’ bin Khudaij Radhiyallahu anhu yang di dalamnya dia bercerita : Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda :

“Kerjakanlah shalat Subuh sepagi mungkin karena sesungguhnya itu merupakan waktu yang lebih besar pahalanya atau yang paling besar.”

Di dalam lafazh At-Tirmidzi disebutkan :
“Kerjakan shalat Subuh sepagi mungkin karena waktu tersebut merupakan yang paling besar pahalanya.”[33]

At-Tirmidzi Rahimahullah menukil dari Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishak : “Bahwa makna al-isfar adalah terangnya fajar sehingga tidak ada lagi keraguan padanya.”

Saya pernah mendengar Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan : Yang dimaksudkan adalah janganlah kalian tergesa-gesa untuk mengerjakan shalat Subuh sampai tampak jelas waktu Subuh sehingga tidak ada kebimbangan dalam shalat.”[34]

Shalat Subuh dianggap dikerjakan pada waktunya secara penuh meski hanya sempat mengerjakan satu raka’at dari waktunya. Hal itu didasarkan pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at shalat Subuh sebelum matahari terbit berarti dia telah mendapatkan shalat subuh (secara penuh). Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at Ashar sebelum matahari terbenam berarti dia telah mendapatkan shalat Ashar (sepenuhnya).”[35]

Saya pernah mendengar yang mulia Al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan : “Berdosa jika hal itu dilakukan dengan sengaja.”[36]

Tidak diperbolehkan mengerjakan shalat sebelum waktunya, dan tidak boleh juga mengakhirkan shalat sampai waktu yang telah ditetapkan. Hal itu sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh beberapa hadits tentang waktu-waktu shalat. Juga berdasarkan firman Allah Ta’ala :

“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa : 104)

Diwajibkan untuk segera dan langsung mengqadha shalat yang terlewatkan secara berurutan meski dalam jumlah yang banyak. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala :

“Dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu.” (QS. Thaha : 14)

Juga didasarkan pada hadits Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda :

“Barangsiapa yang lupa mengerjakan suatu shalat, hendaklah dia segera mengerjakannya ketika teringat. Tidak ada kafarat (denda) atas hal tersebut melainkan hanya itu saja.”

Dalam lafazh riwayat Muslim disebutkan :

“Barangsiapa yang lupa mengerjakan suatu shalat atau tertidur sehingga tidak mengerjakannya...”[37]

Juga pada hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhuma : “Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu anhu datang saat terjadi perang Khandaq setelah matahari terbenam lalu mecaci maki orang-orang kafir Quraisy. Dia berkata : ‘Wahai Rasulullah, aku hampir tidak mengerjakan shalat Ashar, melainkan setelah matahari hampir terbenam?’ Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda (menimpalinya) : ‘Demi Allah, aku tidak mengerjakannya (shalat Ashar).’ Beliau pun berwudhu untuk mengerjakan shalat Ashar kemudian kamipun melakukannya. Selanjutnya beliau mengerjakan shalat Ashar setelah Matahari terbenam. Setelah itu beliau mengerjakan shalat Maghrib.”[38]

Dihukumi sama dengan orang yang tertidur adalah orang yang tidak sadarkan diri (pingsan) selama tiga hari atau kurang dari itu. Pendapat seperti itu diriwayatkan dari Ammar, Imran bin Husain, Samurah bin Jundab Radhiyallahu anhum.[39]

Ada juga yang berpendapat : “Orang yang tidak sadarkan diri tidak perlu mengqadha’ shalat meski berlangsung lama.”

Ada juga yang berpendapat lain : “Jika dia tidak sadarkan diri sehingga tidak mengerjakan yang lima waktu, dia harus mengqadha’nya. Apabila lebih dari lima waktu dia tidak perlu mengqadha’nya.”

Tetapi ada juga yang berpendapat : “Dia tidak wajib mengqadha’ shalat, kecuali shalat ketika dia sadarkan diri dan masih mendapatkan sebagian waktunya.” Yang benar adalah yang menjadi pilihan Syaikh kami, Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, yaitu bahwa orang yang tidak sadarkan diri itu harus mengqadha’ shalat jika masa tidak sadarkan dirinya itu berlangsung tiga hari atau kurang karena dengan kondisi seperti itu dia dikategorikan sebagai orang yang tidur. Tetapi jika masa berlangsungnya itu lebih dari itu, tidak ada keharusan baginya untuk mengqadha’nya karena orang yang tidak sadarkan diri dalam jangka waktu lebih dari tiga hari itu menyerupai orang gila yang kehilangan seluruh akalnya.”[40]

Adapun wanita yang menjalani masa haidhnya tidak perlu mengqadha’ shalat kecuali pada dua kondisi berikut ini :
1. Jika dia suci sebelum matahari terbenam, dia harus mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar. Jika dia suci sebelum terbit fajar, dia harus mengerjakan shalat Maghrib dan Isya. Pendapat ini bersumber dari Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah dan Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhum.[41] Karena waktu shalat yang kedua menjadi waktu shalat yang pertama juga pada saat berhalangan. Oleh karena itu jika orang yang berhalangan mendapatkan waktu kedua, dia harus mengerjakan juga shalat pertama, sebagaimana dia harus mengerjakan juga shalat yang kedua.

Imam Ahmad Rahimahullah mengatakan : “Seluruh tabi’in menyatakan pendapat tersebut, kecuali Al-Hasan.”[42] Itu pula yang menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[43] Pendapat itu juga dibenarkan oleh Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan beliau menfatwakannya sampai beliau wafat. Mudah-mudahan Allah menyucikan arwahnya dan menyinari kuburnya.[44]

2. Jika seorang wanita mendapatkan waktu shalat tertentu kemudian dia haidh sebelum dia mengerjakan shalat tersebut, para ulama telah berbeda pendapat mengenai hal tersebut, apakah dia bekewajiban untuk mengqadha’nya atau tidak? Yang benar bahwa seorang wanita jika telah mendapatkan waktu shalat kemudian dia belum mengerjakannya sehingga waktu semakin sempit -ketika dia tidak lagi dapat mengerjakan shalat secara sempurna- lalu dia mengalami haidh sebelum dia sempat mengerjakan shalat itu, dia wajib mengqadha’ shalat tersebut setelah suci nanti, karena dia telah menyia-nyiakan waktu shalat. Itu pula yang difatwakan oleh yang mulia Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Itu pulalah yang menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[45] Jika waktu shalat yang sudah datang itu dikhawatirkan akan berlalu (habis), dia boleh mengerjakannya (terlebih dahulu) sehingga tidak hilang begitu saja, baru kemudian mengerjakan shalat yang ditinggalkannya.[46]

Shalat-shalat yang ditinggalkan itu diqadha’ sama persis seperti yang ditinggalkan, yakni jumlah raka’atnya, bacaan sirri atau jahrinya. Ini berdasarkan hadits Abu Qatadah Radhiyallahu anhu yang cukup panjang tentang tidurnya Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya sehingga mereka tidak sempat menunaikan shalat Subuh (pada waktunya) di dalam perjalanan. Di dalam hadits itu disebutkan : “Bilal mengumandangkan adzan untuk shalat. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam pun mengerjakan shalat dua raka’at kemudian mengerjakan shalat Subuh, sehingga beliau telah mengerjakannya seperti yang beliau kerjakan setiap hari.”[47]

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa orang yang tidak sempat mengerjakan suatu shalat maka dia harus mengerjakannya disertai shalat sunnah yang menyertainya.



Catatan kaki :
[1] Lihat kitab Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an karya Ath-Thabari (X/512-519). Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, hal. 792. Juga kitab Taisirul Karim Ar-Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan karya As-Sa’di, hal. 416.

[2] Muslim, Kitab “Al-Masajid,” Bab “Auqutush Shalawat Al-Khasi,” no. 612

[3] Ahmad di dalam kitab Al-Musnad (III/330). At-Tirmidzi, Kitab “Ash-Shalah,” Bab “Ma Ja-a fi Muwaqitish Shalah ‘aina Nabi Shalallahu alaihi wa sallam,” no. 150, dan dinilai shahih. At-Tirmidzi mengatakan : “Muhammad (yakni, Imam Al-Bukhari) mengatakan ; ‘Yang paling benar dalam waktu-waktu shalat adalah hadits Jabir dari Nabi’.” (I/282). Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i di dalam Kitab “Ash-Shalah,” Bab “Akhiru Waqtil ‘Ashar,” no. 513. Ad-Daraquthni, (I/257), no. 3. Serta Al-Hakim dan dia menilainya shahih yang kemudian disepakati oleh Adz-Dzahabi, (I/195). Dinilai shahih oleh Al-Albani di dalam kitab Irwa-ul Ghalil (I/271). Sumber asal keimaman Jibril untuk Nabi dalam shalat lima waktu itu terdapat di dalam kitab Shahih Muslim, Kitab “Ash-Shalal,” Bab “Auqutush Shalawat al-Khams,” no. 610.

[4] Saya mendengarnya dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz saat beliau memberi penjelasan mengenai kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar, hadits no. 171, yakni di sebuah Universitas besar Riyadh sebelum tahun 1404 H.

[5] Diriwayatkan oleh Al-Hakim, dan lafazh hadits di atas adalah miliknya. Dia nilai hadits ini shahih, yang kemudian disepakati oleh Adz-Dzahabi (I/189). Hadits yang sama juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Kitab “Ash-Shalah,” Bab Ma Ja-a fil Waqtil Awwali minal Fadhl,” no. 170 dan 173, yang dinilai shahih. Asli hadits ini adalah Muttafaq alaih : Al-Bukhari, Kitab “Mawaqitish Shalah,” Bab “Fadhlush Shalah li Waqtiha,” no. 527. Lafazhnya sebagai berikut : “Aku pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu alaihi wa sallam : ‘Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?’ Beliau menjawab : ‘Shalat di awal waktunya.’ Kemudian apa lagi? Beliau menjawab : ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Dia bertanya lagi : ‘Apa lagi?’ Beliau menjawab : ‘Jihat di jalan Allah.’ Lebih lanjut dia bercerita : “Rasulullah menyampaikan hal tersebut kepadaku, yang seandainya aku menambahkan pertanyaan, pasti beliau menambahkan jawaban kepadaku.” Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab “Al-Iman,” Bab “Bayani Kaunil Imani Billahi Ta’ala Afdhalul A’mal,” no. 85.

[6] Saya mendengarnya dari Syaikh Abudl Aziz bin Abdullah bin Baz di sela-sela beliau menjelaskan hadits no. 183 dari kitab Bulughul Maram.

[7] Muslim, no. 612. Takhrij hadits ini telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya.

[8] Diriwayatkan oleh Ahmad (III/330), At-Tirmidzi, no. 150. An-Nasa’i, no. 513. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya.

[9] Muttafaq alaih; Al-Bukhari, Kitab “Al-Mawaqit,” Bab “Man Adraka minal Fajr Rak’atan,” no. 579. Muslim, Kitab “Al-Masajid,” Bab “Ma Adraka Rak’atan minash Shalati Faqad Adraka Tilkash Shalah,” no. 607.

[10] Muslim, Kitab “Al-Masajid wa Mawadhi’ush Shalah,” Bab “Istihbabut Takbir bil Ashr,” no. 662.

[11] Saya mendengar hal tersebut dari Syaikh Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz di sela-sela beliau menjelaskan hadits no. 73 dari kitab Bulughul Maram. Dan disela-sela beliau memberi penegasan terhadap kitab Ar-Raudhul Murbi (I/471). Lihat juga kitab Majmu’u Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah karya Ibnu Baz (X/384)

[12] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 612. Takhrij hadits ini telah diberikan pada pembahawan sebelumnya.

[13] Ahmad, (III/330). At-Tirmidzi, no. 150. An-Nasa’i, no. 513. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya.

[14] Muttafaq alaihi: Al-Bukhari, Kitab “Ash-Shalah,” Bab “Waqtul Maghrib,” no. 559. Muslim, Kitab “Al-Masajid wa Mawadhi’ush Shalah,” Bab “Bayanu anna Awwali Waqtil Maghrib ‘Inda Ghurubisy Syams,” no. 637.

[15] Al-Bukhari, Kitab “At-Tahajjud,” Bab “Ash Shalah Qablal Maghrib,” no. 1183 dan 7368.

[16] Lihat kiab Subulus Salam, karya Ash-Shan’ani (III/14). Saya mendengar hal tersebut dari Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz disela-sela penjelasannya tentang hadits no. 383 dari kitab Bulughul Maram.

[17] Shahih Ibnu Hibban (Al-Ihsan), (III/59) no. 1586.

[18] Shahih Muslim, Kitab “Shalatul Musafirin,” Bab “Istihbabu Rak’atain Qabla Shalatil Maghrib,” no. 836.

[19] Muttafaq alaihi : Al-Bukhari, Kitab “Al-Adzan,” Bab “Kam Bainal Adzan wal Iqamah,” no. 625. Muslim, Kitab “Shalatul Musafirin,’ Bab, “Istihbabu Rak’atain Qabla Shalatil Maghrib,” no. 837.

[20] Muslim, no. 612, takhrij hadits ini telah diberikan pada pembahasan sebelumnya.

[21] Ahmad (III/330), At-Tirmidzi, no. 150. An-Nasa’i, no. 513. Takhrij hadits ini telah diberikan sebelumnya.

[22] Muslim, Kitab “Al-Masajid,” Bab “Qadha-ush Shalatil Fa’itah wa Istihbabi Ta’jili Qadha’iha,” no. 311.

[23] Muslim, Kitab “Al-Masajid,” Bab “Waqtul Isya wa Ta’khiruha,” no. 638.

[24] Muttafaq alaihi : Al-Bukhari, Kitab “Mawaqitush Shalah,” Bab “Waqtul Maghrib,” no. 560. Muslim, Kitab “Al-Masajid,” Bab “Istihbabut Takbir bish Shubhi fi Awwali Waqtiha,” no. 646.

[25] Muttafaq alaihi : Al-Bukhari, Kitab “Mawaqitush Shalah,” Bab “Waqtul Ashr, no. 547. Muslim, Kitab “Al-Masajid,” Bab “Istihbabut Takbir bish Shubhi,” no. 647.

[26] Saya mendengarnya ketika beliau memberi penjelasan hadits no. 166 dari kitab Bulughul Maram.

[27] Demikian itulah yang pernah saya dengar dari yang mulia Imam Abdul Aziz bi Abdullah bin Baz yang tercantum di dalam kitab Majmu Fatawa wa Muqalat Mutanawwi’ah (X/385).

[28] Muslim, no. 612. Takhrij hadits ini telah diberikan pada pembahasan sebelumnya.

[29] Ahmad (III/330). At-Tirmidzi, no. 150. An-Nasa’i, no. 647. Takhrij hadits ini telah diberikan sebelumnya.

[30] Muttafaq alaih : Al-Bukhari, Kitab “Muwaqitush Shalah,” Bab “Waqtul Ashr,” no. 547. Muslim, Kitab “Al-Masajid,” Bab, “Istihbabut Takbir bish Shubhi,” no. 647.

[31] Muttafaq alaih : Al-Bukhari, Kitab “Mawaqitush Shalah,” Bab “Waqtul Maghrib,” no. 560. Muslim, Kitab, Al-Masajid,” Bab “Istihbabut Takbir bish Shubhi fi Awwali Waqtiha,” no. 646.

[32] Saya mendengar hal itu dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz di sela-sela penjelasan yang beliau berikan tentang hadits no. 167 dari kitab Bulughul Maram.

[33] Abu Dawud, Kitab “Ash-Shalah,” Bab “Waqtush Shubhi,” no. 424. Ibnu Majah, Kitab “Ash-Shalah,” Bab “Mawaqitish Shalah,” no. 672. At-Tirmidzi, Kitab “Ash-Shalah,” Bab “Ma Ja-a bil Isfar bil Fajr,” no. 154. An-Nasa’i, Kitab “Ash-Shalah,” Bab “Al-Isfar,” no. 548 dan 549. Dinilai shahih oleh At-Tirmidzi.

[34] Saya mendengarnya dari yang mulia Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ketika beliau menjelaskan hadits no. 579 dari kitab Bulughul Maram.

[35] Muttafaq alaihi : Al-Bukhari, Kitab Al-Mawaqit,” Bab “Man Adraka minal Fajr Rak’atan,” no. 579. Muslim, Kitab “Al-Masajid,” Bab “Man Adraka Rak’atan minash Shalati Faqad Adraka Tilkash Shalah,” no. 607.

[36] Saya mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Ar-Raudhul Murbi (I/480)

[37]Muttafaq alaihi : Al-Bukhari, no. 597. Muslim, no. 684. Takhrij hadits ini telah diberikan sebelumnya.

[38] Muttafaq alaihi : Al-Bukhari, Kitab “Mawaqitus Shalah,” Bab “Man Shalla bin Nasi Jama’atan Ba’da Dzahabil Waqti,” no. 596. Muslim, Kitab “Al-Masajid,” Bab “Ad Dalil liman Qala Ash-Shalatul Wustha Hiya Shalatul Ashr,” no. 631.

[39] Lihat kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (II/50-52). Dan juga kitab Asy-Syarhul Kabir (III/8)

[40] Lihat kitab Majmu Fatawa Samahah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz yang dikumpulkan oleh Ath-Thayyar (II/457).

[41] As-Sunanul Kubra karya Al-Baihaqi (I/386 dan 387). Atsar-atsar ini disebutkan oleh Al-Majd Ibnu Taimiyyah di dalam kitab Al-Mutaqa, no. 91 dan 92, yang dinisbatkan kepada Sunan Sa’id bin Manshur.

[42] Lihat kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah (II/47).

[43] Ibid, (II/46).

[44] Lihat Kitab Fatawa Ibni Taimiyyah (XXI/434).

[45] Lihat Kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah (II/11, 46 dan 47). Ikhtiyaratul Fiqhiyyah karya Ibnu Taimiyyah, hal. 34.

[46] Saya mendengarnya dari Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz disela-sela beliau memberi penjelasan tentang kitab Ar-Raudhul Murbi (I/490).

[47] Shahih Muslim, Kitab “Al-Masajid,” Bab “Qadha’ush Shalati Al-Fa’itah,” no. 681.


Disalin dari buku Ensiklopedia Shalat Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jilid I, hal. 239-251
Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Karya Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani

About This Blog

"I dedicate this blog to myself personally and to my brothers the other as an advice that can bring us closer to Allah.

I hope this blog can provide many benefits to humankind, especially to improve the quality of our faith in Allah."

About Me

"I am a Muslim, and I am proud to be a Muslim. I am very grateful to my Lord because He has made me a Muslim. I also gained will always beg Him for he always makes me a Muslim until I meet Him in the wilderness masyhar. I really love my religion, therefore, I will fight for it with gusto. if you are a Muslim and also love your religion, then we will meet in a state of loving. But if you are against me and my religion, then we'll be seeing in the field of jihad. whoever you are!!!"

Total Tayangan Halaman