Muhammad Yusrinal

Yang Terbaik Diantara Kalian Adalah Yang Mempelajari Al-Qur'an Dan Yang Mengajarkannya

Pembahasan ini mencakup dua permasalahan pokok, yaitu :

Pertama, membangun masjid di kubur atau menguburkan mayit dalam masjid.
Kedua, hukum shalat di masjid tersebut.

Larangan Menjadikan Kubur Sebagai Masjid

Banyak hadits yang melarang perbuatan ini, diantaranya,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur Nabi mereka sebagai masjid. (Aisyah berkata), ‘Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburnya akan dijadikan masjid’.” (HR. Bukhari 435).

Dalam redaksi lain beliau mengatakan, “Ingatlah, sesungguhnya aku melarang perbuatan itu.” (HR. Muslim 532).

Aisyah dan Ibnu Abbas berkata, “Tatkala Nabi menjelang wafat beliau menutupkan bajunya ke wajah. Ketika merasa gerah beliau membukanya dan bersabda, “Semoga Allah melaknat Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid”. Aisyah berkata, ‘Nabi memperingatkan semisal perbuatan mereka’.” (HR. Bukhari 417, Muslim 826, Nasai 696, Ahmad 22931 dan ini lafazhnya).

Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tentang gereja yang mereka lihat di Habasyah (Ethopia) dan banyak gambar (patung) di dalamnya, beliau lantas bersabda, “Mereka itu (orang Nasrani) jika ada seorang shalih yang meninggal mereka membangun masjid di atas kuburnya, dan membuat gambar (patung) nya, mereka itu makhluk paling jelek di sisi Allah pada hari kiamat. (HR. Bukhari 427, Muslim 528).

Al Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Hadits ini (hadits terakhir) menunjukkan haramnya membangun masjid di atas kubur orang-orang shalih dan menggambar mereka seperti dilakukan oleh orang Nasrani. Tidak diragukan lagi bahwa masing-masing perbuatan itu diharamkan. Melukis manusia diharamkan dan mengubur mayit di masjid juga diharamkan.” (seperti disebutkan dalam kitab Kawakib Ad Darari 65/82/2, lihat Tahdzhirus Sajid, hal. 13).

Beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa membangun masjid di kubur atau mengubur mayit dalam masjid adalah dilarang karena termasuk tindakan kelewat batas, selain itu bisa menyeret kepada kesyirikan. sebab orang yang shalat di dalam masjid tersebut akan menghadap kepada kubur, akan muncul ta’aluq (keterikatan hati) dengan mereka dan akhirnya beribadah kepada penghuni kubur dengan meminta berkah, syafaat dan lain sebaginya. Imam Qurthubi mengatakan, “Semua (larangan) itu bertujuan memutus jalan menuju peribadatan kepada penghuni kubur, sebab larangan ini sama halnya dengan sebab dilarangnya membuat patung orang-orang shalih karena akhirnya patung itu juga diibadahi”. (lihat Fathul Majid, hal. 277).

Ibnu Abdil Bar Al Maliki berkata, “Diharamkan atas kaum muslimin menjadikan kubur para Nabi, ulama dan orang-orang shalih sebagai masjid”. (At Tahmid I/168).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Para Imam telah bersepakat bahwasanya tidak boleh mendirikan masjid di atas kubur sebab Nabi bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian mereka menjadikan kubur-kubur sebagai masjid. Camkan, kalian jangan menjadikan kubur-kubur sebagi masjid, aku melarang hal itu”. Maka tidak boleh memakamkan mayit di masjid, jika masjid itu telah ada sebelum pemakaman maka harus dirubah, baik dengan diratakannya kubur itu dengan tanah atau kubur itu dibongkar walaupun baru. Jika masjid dibangun setelah adanya kubur maka masjid itu dirobohkan atau bentuk kubur dihilangkan. Masjid yang dibangun di atas kubur tidak boleh digunakan untuk shalat, shalat wajib ataupun shalat sunnah sebab hal itu dilarang”. (Majmu Fatawa 1/107, 2/192 dan Iqtidha shirathal Mustaqim 1/332-339).


Makna Membangun Masjid Di Kubur

Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa menjadikan masjid sebagai kubur memiliki tiga makna.

1. Shalat di atas kubur artinya sujud di atasnya

Makna ini didukung oleh hadits berikut ;

Abu Said Al-Khudri berkata : “Rasulullah melarang membangun di atas kubur, mendudukinya dan shalat diatasnya.” (Abu Ya’la dalam Musnadnya, dishahihkan Al Albani dalam Tahdzirus Sajid hal. 22).

Sabdanya pula, “Kalian jangan shalat menghadap kubur dan shalat di atasnya.” (Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 3/145/2, Dhiya Al Maqdisi dalam Al Mukhtarat dan dishahihkan Al Albani dalam Tahdzirus Sajid hal. 22).

Ibnu Hajar Al Haitami berkata dalam kitab Zawajir 1/121, “Menjadikan kubur sebagai masjid artinya shalat di atasnya atau menghadap kepadanya”.

As Shan’ani berkata dalam Subulus Salam 1/214, “Menjadikan kubur sebagai masjid memiliki makna yang lebih luas dari sekedar shalat menghadap kubur atau shalat diatasnya”.

2. Shalat dan do’a menghadap kubur

Dikuatkan oleh hadits,
“Kalian jangan duduk di atas kubur dan shalat menghadap kubur.” (HR. Muslim 1613, Abu Dawud 2810, Nasai 752, Tirmidzi 971).

Al Allamah Mula Ali Al Qori dalam Al Mirqot 2/372 menjelaskan sebab larangan, “Karena mengandung pengagungaan yang kelewat batas, (penghuni kubur itu) bagaikan sesembahan. Jika pengagungan ini senyatanya niscaya merupakan kekufuran yang besar. Dan menyerupai perbuatan itu adalah makruh (dibenci) dan seharusnya tergolong makruh tahrim (dibenci karena haram). Kasus serupa atau bahkan lebih parah adalah diletakkannya jenazah di arah kiblat orang-orang shalat. Kasus ini menimpa penduduk Makkah karena mereka meletakkan jenazah di sisi Ka’bah lantas shalat menghadap jenazah tersebut.”

Anas bin Malik berkata, “Aku shalat dekat kubur. Hal ini dilihat oleh Umar bin Khaththab. Dia lantas berseru, ‘awas kubur, awas kubur!’ Aku tengadahkan kepala ke langit karena aku sangka dia berkata ‘awas qomar (bulan)’. (Riwayat Abul Hasan Ad Dainawari dengan sanad shahih, Bukhari secara mu’allaq 1/437, tetapi disambung oleh Abdur Razzaq dalam Mushonnaf 1581 dengan tambahan : Umar berkata, “Aku katakan kubur, jangan engkau shalat menghadapnya”.

Kedua makna di atas pada keadaan ketika shalat itu bukan di dalam masjid, karena shalat di atas kubur atau menghadap kubur tanpa ada bangunan masjidnya itu sama saja dengan menjadikan tempat shalat itu sebagai masjid (tempat sujud) karena Rasulullah bersabda, “Bumi ini dijadikan bagiku (sebagai) masjid dan suci” (HR. Bukhari 323, Muslim 810).

Dalam riwayat lain, “Bumi itu semuanya masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.” (Ahmad 3/83, Abu Dawud 492, Tirmidzi 317, Ibnu Majah 745, dishahaihkan oleh Ahmad Syakir dalam komentar pada sunan Tirmidzi dan Al Albani dalam Ahkamu Jana’iz hal. 137).

Maksudnya semua tanah itu boleh digunakan untuk masjid yaitu shalat kecuali dua tempat tersebut. Maka ketika dia shalat di suatu kubur berarti menjadikan tempat itu sebagai masjid (tempat sujud). (lihat juga Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, 2/189).

3. Membangun masjid di atasnya dan shalat di dalamnya

Imam Bukhari dalam shahihnya membuat bab ‘Bab Dibencinya Membangun Masjid di Atas Kubur’. Beliau mengisyaratkan demikian karena menjadikan kubur sebagai masjid sama artinya dengan mendirikan masjid di atas kubur. Masalah ini sangat jelas. Al Hafizh Ibnu Hajar dalam syarah hadits tersebut berkata, “Karmani berkata, ‘Manfaat dari hadits ini adalah larangan menjadikan kubur sebagai masjid’. Sedangkan bab (yang ditulis Bukhari) menunjukkan mendirikan masjid di atas kubur. Kadua hal ini memiliki pemahaman yang berbeda. Hal ini dapat dijawab bahwa kedua hal itu sangat terkait walaupun pemahamannya berbeda.”

Arti inilah yang ditangkap Ummul Mu’minin Aisyah, sehingga pada akhir hadits (pertama) beliau berkata, “Kalau bukan karena itu niscaya kubur beliau akan dinampakkan (dikubur di luar rumah yaitu di pemakaman umum). Hanya saja karena dikhawatirkan akan dijadikan masjid (maka tidak jadi dinampakkan dengan dimakamkan di dalam rumah)”

Ini menunjukkan tidak ada bedanya antara membangun masjid di atas kubur atau memindahkan kubur di dalam masjid. Keduanya haram karena bahayanya sama.

Lantaran itu Al Hafizh Al Iraqi berkata, “Jika ada seseorang membangun masjid dengan tujuan agar dimakamkan pada sebagian masjid itu maka terkena laknat. Bahkan diharamkan pemakaman di masjid. Sesungguhnya syarat yang dia ajukan yaitu agar dimakamkan di masjid tidaklah benar karena menyelisihi ‘wakaf’ nya agar dibangun masjid.” (Maksudnya ketika dia wakaf untuk membangun masjid secara otomatis tidak boleh mengubur mayit di dalamnya termasuk dirinya karena ada larangan). (lihat juga Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan alu Syaikh dan Al Qoulul Mufid Al Kitabut Tauhid, Syaikh Ibnu Utsaimin, 1/445-446).

Syaikh Al Albani mengatakan, “Hadits-hadits di atas menunjukkan larangan shalat di masjid yang dibangun di atas kubur dan ini sangat jelas. Karena larangan membangun masjid di atas kubur mengharuskan larangan shalat di dalamnya. Hal ini termasuk dalam bab ‘larangan terhadap sarana mengharuskan larangan terhadap tujuan dan apa-apa yang mengantarkan kepada tujuan tersebut’. Contohnya, Allah melarang menjual khamr (minuman keras), maka meminumnya termasuk dalam larangan dan perkara ini sangat jelas, bahkan larangan minum lebih layak disbanding larangan menjualnya…”

Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa maksud menjadikan kubur sebagai masjid mencakup tiga makna tadi. Dalam Al-Umm 1/246 beliau berkata, “Aku benci bila masjid dibangun di atas kubur, diratakan (dengan tanah), shalat di atas kubur, …atau shalat menghadap kubur. Namun bila seseorang shalat menghadap kubur shalatnya sah tetapi berdosa. Malik memberitahuku bahwa Rasulullah bersabda, ‘Semoga Allah membinasakan Yahudi dan Nasrani karena menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid’. Aku membenci perbuatan ini dengan dasar sunnah dan atsar. Beliau membenci -Allahu a’lam- seseorang dari kaum muslimin diagungkan, yakni kuburnya dijadikan masjid. Sangat mungkin hal ini akan menimbulkan fitnah dan kesesatan dikemudian hari”.

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa shalat di masjid yang ada kuburnya adalah haram.

Bagimana Kalau Kubur Tersebut Berada Di Samping Atau Sebelah Timur Masid?

Sementara orang memahami bahwa larangan itu hanya jika kubur berada di dalam masjid. Tentu saja ini sangkaan yang keliru. Perhatikan hadits berikut : “Bumi ini semuanya masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.”

Maknanya bahwa kubur bukan tempat shalat, baik ada bangunan masjidnya atau tidak, baik shalat itu menghadap kubur atau kubur berada di samping kanan atau kiri atau kubur berada di sebelah timurnya. Selama kubur itu masih satu komplek maka shalat haram.

“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kubur, sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim 1300, Tirmidzi 2802).

Dalam syarahnya Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Bahwa kubur bukan tempat untuk ibadah maka shalat di kubur menjadi makruh (dibenci)”. (Fathul Bari, lihat juga Ahkamu Janaiz, hal 271-275).

Syaikh Al-Albani berkata, “Ketahuilah bahwa dibencinya shalat di masjid yang dibangun di atas kubur adalah pada semua keadaan, baik kubur itu berada di depan masjid, belakangnya, sebelah kanan atau kirinya. Maka shalat di dalamnya dibenci pada semua keadaan itu. Namun kebencian itu bertambah sangat bila shalat menghadap kubur (kubur berada arah kiblat masjid-pen). Karena pelakunya telah melakukan dua penyimpangan ; pertama, shalat di masjid tersebut, kedua, shalat menghadap kubur. Yang kedua ini dilarang secara mutlak, baik dilaksanakan di masjid atau bukan berdasarkan hadits shahih dari Nabi”. (Tahdzirus Sajid, hali. 130).

Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya membuat Bab “Bab Dibencinya Menjadikan Masjid sebagai Kubur”, Tatkala Al-Hasan bin Al-Husain bin Ali meninggal, istrinya memasang kemah di atas kuburnya selama setahun kemudian dibongkar. Mereka mendengar ada suara “Apakah mereka mendapatkan apa yang telah hilang dari mereka? Suara lain menjawab “Bahkan mereka putus harapan lantas pulang”.

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Kesesuaian atsar ini dengan bab adalah bahwa orang yang menetap di kemah dia pasti menunaikan shalat di dalamnya, otomatis telah membuat masjid di sisi kubur. Jika kubur berada di arah kiblat maka semakin dibenci.” Pada bab ‘Apakah kubur orang-orang Musyrik Jahiliyah Dibongkar dan Dibenci Shalat di Kubur’ Al Hafizh memberi komentar, “Kebencian ini mencakup shalat itu di atas kubur, menghadap kubur atau antara dua kubur.”

Badrudin Al-Aini dalam Umdatul Qori 4/149 menyatakan hal yang serupa.

Syaikh Muhammad Yahya Al-Kandahlawi Al-Hanafi dalam kitab Al-Kaukab Ad-Duri ‘ala Jami’ Tirmidzi hal. 153 berkata : “Adapun membangun masjid di kubur termasuk tasyabuh (meniru) perbuatan Yahudi dan menjadikan kubur para nabi dan para tokoh sebagai masjid termasuk pengagungan terhadap mayit dan meniru para penyembah berhala meskipun masjid itu berada di samping kubur. Jika kubur berada di arah kiblat maka lebih dibenci ketimbang berada di samping kanan atau kiri. Jika berada di belakang orang-orang yang shalat lebih ringan tetapi tidak lepas dari hukum makruh (dibenci).” (seperti termuat dalam Tahdzirus Sajid, hal. 132)

Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat Al-Ilmiyah hal. 25 mengatakan, “Shalat di kuburan atau menghadap kubur tidak sah. Larangan ini untuk saddu dzari’ah (tindakan preventif/pencegahan) menuju syirik. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa bila kubur itu hanya satu atau dua maka shalat tidak terlarang sebab tidak termasuk dalam pengertian maqbarah (kuburan). Dinamakan maqbarah kalau orang yang dikubur tiga lebih. Imam Ahmad dan para murid-muridnya tidak membedakan hal ini, bahkan mereka secara umum, pengambilan sebab hukum dan pendalilan mereka menunjukkan shalat di kubur terlarang walaupun hanya ada satu kubur. Inilah pendapat yang benar.

Maqbarah adalah semua tempat yang dikuburkan mayit di tempat tersebut (walaupun satu orang) bukan kata jamak dari qobrun (kubur). Sahabat kami mengatakan, “Semua yang tercakup dalam pengertian maqbaroh termasuk pula sekitar kubur tidak boleh untuk tempat shalat.” Ucapan ini menegaskan bahwa larangan itu karena untuk menghormati kubur yang bersendiri dan mencakup pula tanah yang berkaitan dengan kubur tersebut. Al-Amidi dan selainnya mengatakan, “Tidak boleh shalat di masjid yang kiblatnya terdapat kubur sampai ada pembatas antara dinding masjid dengan kubur.” Sebagian yang lain mengatakan, “Ini merupakan ucapan Ahmad (bin Hanbal).” (Lihat Ahkamu Janaiz, 274).

Syaikh Al-Albani menyimpulkan, “Penukilan (perkataan para ulama) ini mendukung pendapat kami bahwa shalat di masjid yang dibangun di atas kubur adalah makruh secara mutlak, baik menghadap kubur ataupun tidak. Harus dibedakan antara masalah ini dengan shalat menghadap kubur tetapi tidak ada bangunan masjid. Pada keadaan kedua ini dibenci jika shalat itu menghadap kubur. Namun sebagia ulama tidak mensyaratkan harus ‘menghadap kiblat’. Mereka berpendapat shalat di sekitar kubur dilarangan secara mutlak (menghadap kiblat atau tidak-pent), seperti telah berlalu penukilan dari Hanabilah dan dalam kitab Hasyiah Thahawi ala Maraqi Falah dan kitab madzhab Hanafiyah hal. 208. Pelarangan ini sesuai dengan kaidah Saddud Dzarai’ (tindakan preventif) berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :

“...Maka siapa yang menjaga diri dari syubhat dia telah membebaskan agamanya (dari kekurangan) dan dirinya (dari celaan). Dan siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti telah jatuh ke dalam hal yang diharamkan, bagaikan seorang pengembala yang mengembala seputar pagar larangan nyaris saja dia terjerumus ke dalamnya...” (Muttafaqun alaihi dari hadits An-Nu’man bin Basyir). (Tahdzirus Sajid, hal. 132)

Namun ada beberapa keadaan yang mengecualikan dari ketentuan di atas, yaitu sebagai berikut :

1. Bila kubur tersebut telah dibongkar maka tempat itu boleh didirikan masjid dan digunakan untuk shalat, sebagaimana masjid Nabawi, didirikan pada sebidang tanah yang pada sebagiannya terdapat kubur orang musyrik lantas dibongkar. (Bukhari 410, 1735, Muslim 816).
2. Bila kubur dan masjid tidak dalam satu komplek karena berarti masjid itu bukan berada di kubur.
3. Bila kubur dan masjid berdampingan maka harus ada pembatas berupa tembok atau semisalnya sebagai pemisah antara tembok masjid dan kubur seperti ucapan Al-Amidi yang dinukil oleh Ibnu Taimiyah di muka. Imam Ahmad menegaskan bahwa shalat di masjid yang kiblatnya ada kubur dilarang sampai ada pembatas antara tembok masjid dan kubur. Atha’ bin Abi Rabbah berpendapat tembok masjid tidak cukup sebagai pembatas antara orang yang shalat dan kubur padahal kubur itu berada di luar masjid. Lantas apakah cukup jendela masjid sebagai pembatas sedangkan kubur berada di dalam masjid?! (diriwayatkan oleh Abur Razzaq dalam Mushannaf 5179, lihat catatan kaki Tahdzirus Sajid hal. 66-67)
4. Bila kubur tidak nampak dipermukaan sehingga tidak nampak bentuk kubur. Al Allamah Ali Al-Qori dalam Mirqat Mafatih I/456 membantah orang yang membolehkan membangun kubur di masjid dengan dalil kubur Ismail di Hijr (Baitul Haram) dan tempat antara Hajar Aswad dan Zamzam terdapat kubur tujuh puluh Nabi, dengan berkata, “Bentuk kubur Ismail alaihissalam dan selainnya sudah lenyap maka tidak boleh dijadikan dalil”. Syaikh Al-Albani menambahkan, “Bahwa patokan permasalahan ini adalah pada kubur yang nampak. Adapun kubur yang ada di perut bumi maka tidak terkena hukum syar’i secara zhahir. Bahkan syariat terbebas dari hukum semisal ini, karena kita mengetahui secara pasti dan menyaksikan bahwa bumi ini semuanya merupakan kubur bagi orang-orang yang hidup seperti firman Allah Ta’ala :
“Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang hidup dan orang-orang mati?” (QS. Al-Ma’arij : 15-16)
(Lihat Tahdzirus Sajid, hal. 77-78)

Pada uraian di atas banyak disebutkan bahwa ulama membenci shalat di masjid yang ada kuburnya entah di dalam atau di luarnya. Ucapan makruh (dibenci) sering disalah artikan hanya sekedar dibenci tidak dilarang. Persepsi ini sangat keliru. Perlu diperhatikan bahwa ulama salaf sering menggunakan istilah saya benci, hal itu dibenci, diambil dari kata bahasa Arab, makruh, lantas apa maksudnya? Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarah Tirmidzi jilid I memaparkan, “Kata ini sering diucapkan para salaf dan seringkali makna yang dimaksud adalah haram.” Lalu beliau menukil perkataan Al-Allamah Al-Aini (Pensyarah Shahih Bukhari), “Para ulama terdahulu memutlakkan kata karahah (makruh) dan makan yang dikehendaki adalah haram.” Usai itu menukil dari Ibnul Qayyim dan ulama lainnya. (Hal. 324)

Hikmah Larangan

Usai menjelaskan pendapat bahwa sebab dilarangnya shalat di masjid yang ada kuburnya lantaran tempat itu najis, Syaikhul Islam mengatakan, “Semua ini menjelaskan kepadamu bahwa sebabnya bukan karena tempat itu najis tetapi hanyalah karena ada dugaan kuat akan dijadikan berhala seperti dikatakan oleh Syafi’i, ‘Aku benci bila makhluk diangungkan hingga kuburnya dijadikan masjid, karena dikhawatirkan timbul fitnah menimpa dia dan orang lain sepeninggalnya’. (Lihat Al-Umm I/278). Katanya lagi, ‘Nabi telah memperingatkan sebab ini dengan sabdanya, ‘Wahai Allah, jangan Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah’. Sabdanya, ‘Orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur sebagai masjid, maka kalian jangan menjadikannya sebagai masjid’. Mereka menjadikan kubur yang tidak najis itu sebagai masjid... Selain itu Latta dulu diibadahi karena pengagungan terhadap kubur laki-laki shalih yang ada di situ dan mereka juga menyebutkan bahwa Wud, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasradalah nama-nama orang shalih pada zaman antara Nabi Adam dan Nuh...Karena sebab inilah Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam melarangnya. Perbuatan ini telah menjerumuskan banyak umat ke dalam syirik besar atau syirik kecil.” (Iqtidha Shirathal Mustaqim, 2/191-192)

Syubhat dan Jawabannya

Sebagian orang berdalil dengan adanya kubur Nabi Shalallahu alaihi wa sallam di dalam masjid Nabawi. Ini menandakan masjid berada di kubur atau sebaiknya dan shalat di sisinya adalah boleh.

Jawab :

Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab sebagai berikut :
1. Masjid Nabawi tidak dibangun di atas kubur beliau tetapi dibangun ketika beliau masih hidup.
2. Nabi tidak dikuburkan di masjid. Sehingga ada yang menjadikannya alasan “ini termasuk pemakaman orang-orang shalih di dalam masjid” tetapi (yang benar) Nabi dikubur di rumahnya.
3. Disatukan rumah beliau dan Aisyah dengan masjid tidak disepakati oleh para sahabat bahkan mayoritas mereka telah wafat, yang masih hidup tinggal sedikit. Itu terjadi kurang lebih tahun 94 H. Tidak pula disetujui atau disepakati mereka. Justru mereka tidak setuju. Termasuk yang menentang dari kalangan Tabi’in adalah Sa’id bin Musayyib.
4. Kubur beliau tidak berada di masjid, sampaipun usai digabung dengan bangunan masjid karena kubur itu berada dalam kamar tersendiri dan masjid tidak dibangun di atas kamar tersebut. Lantaran itu kamar ini dilindungi dengan tiga lapis tembok berbentuk segitiga sehingga orang yang shalat tidak menghadap ke kubur. (Al-Qaulul Mufid, I/398-399). (Lihat Tahdzirus Sajid hal. 591-690)


Disalin dari majalah Al-Furqon Edisi 8 Tahun IV hal. 19-24

About This Blog

"I dedicate this blog to myself personally and to my brothers the other as an advice that can bring us closer to Allah.

I hope this blog can provide many benefits to humankind, especially to improve the quality of our faith in Allah."

About Me

"I am a Muslim, and I am proud to be a Muslim. I am very grateful to my Lord because He has made me a Muslim. I also gained will always beg Him for he always makes me a Muslim until I meet Him in the wilderness masyhar. I really love my religion, therefore, I will fight for it with gusto. if you are a Muslim and also love your religion, then we will meet in a state of loving. But if you are against me and my religion, then we'll be seeing in the field of jihad. whoever you are!!!"

Total Tayangan Halaman