Muhammad Yusrinal

Yang Terbaik Diantara Kalian Adalah Yang Mempelajari Al-Qur'an Dan Yang Mengajarkannya

Ibnu al-Jauzi berkata menceritakan para imam yang memiliki cita-cita dan semangat yang tinggi, “Semangat para ulama terdahulu sangatlah tinggi, hal itu diindikasikan oleh karya-karya tulis mereka yang merupakan intisari usia mereka. Namun kebanyakan hasil karangan mereka telah hilang, karena semangat penuntut ilmu telah melemah. Mereka hanya mencari yang ringkas-ringkas dan tidak bersemangat mempelajari kitab-kitab besar.

Kemudian, para penuntut ilmu hanya mempelajari dari sebagian kitab tersebut. Lalu, lenyaplah, kitab-kitab dan tidak ditulis ulang. Maka, jalan menuntut ilmu yang baik adalah meneliti kitab-kitab yang telah diwariskan (para ulama). Hendaklah dia memperbanyak muthala’ah, karena dia melihat ilmu-ilmu para ulama terdahulu dan tingginya semangat mereka yang mengasah sanubarinya dan menggerkakkan semangatnya untuk bersungguh-sungguh, dan tidak ada satu kitab yang tidak ada faedahnya.

Aku berlindung kepada Allah dari perangai mereka yang bergaul bersama kami. Kami tidak melihat semangat yang tinggi, maka bisa diikuti para generasi muda, dan tidak memiliki sifat wara’ hingga orang yang zuhud bisa mengambil faedah darinya.”[1]

Semoga Allah Ta’ala memberi rahmat kepada Ibnu al-jauzi, dia mencela orang-orang yang ada di masanya. Bagaimana kalau dia melihat orang-orang yang hidup di masa kita. Pintu-pintu ilmu telah dibukakan kepada mereka, namun mereka menjauhkan diri darinya? Pintu-pintu itu ada di hadapan dan di bawah jangkauan mereka, tetapi para pemilik semangat sangat sedikit dan orang-orang yang memiliki cita-cita sangat langka.

Wahai kekasih, ambillah secuil kesabaran mereka. Bagaimana mereka menuntut ilmu? Kesulitan apa saja yang mereka temukan dalam perjalanan menuntut ilmu? Agar engkau melihat perbedaan dan jarak antara orang-orang yang hidup di masa itu dan diantara yang ada pada kita disertai perasaan sedih yang mendalam!!

Abdullah al-Qasim al-‘Atki al-Mishri ingin melakukan perjalanan dari Kairo menuju Madinah untuk menuntut ilmu bersama Imam Malik, sedangkan istri Abdullah ketika itu sedang mengandung. Ia berkata kepada istrinya, “Aku sudah berniat melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu. Saya mererasa tidak akan kembali ke Mesir kecuali setelah melewati waktu yang panjang. Jika engkau ingin aku menceraikanmu, aku akan menceraikanmu, maka engkau akan menikah dengan orang yang engkau kehendaki. Jika engkau memilih tetap bersamaku, saya akan melakukannya namun saya tidak tahu kapan akan kembali.” Istrinya memilih tetap bersamanya sebagai istrinya, dan Ibnu al-Qasim berangkat kepada Imam Malik. Dia tinggal (di Madinah) selama tujuh belas tahun, tidak pernah meninggalkan Imam Malik dan tidak melakukan kegiatan bisnis apapun. Namun semangatnya ditujukan untuk menuntut ilmu. Di masa inilah istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan sudah besar dan Ibnu al-Qasim tidak pernah tahu tentang kelahiran anaknya; karena kabar beritanya telah terputus sejak masa keberangkatannya. Ibnu al-Qasim berkata, ‘Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Imam Malik tiba-tiba dating kepada kami seorang haji dari Mesir, seorang pemuda bertutup muka. Ia member salam kepada Imam Malik kemudian berkata, ‘Adakah diantara kalian yang bernama Ibnu al-Qasim?’ Mereka menunjuk ke arahku. Ia langsung menghadap kepadaku, memelukku dan mengecup diantara kedua mataku. Aku merasakan aroma seorang anak darinya. Ternyata dia adalah anakku yang kutinggalkan ketika istriku dalam keadaan mengandungnya, dan sekarang telah menjadi pemuda yang sudah besar.”

Bersungguh-sungguh dan mengalami kelelahan bukan hanya dalam menuntut ilmu dan mengikatnya (mencatatnya) saja, tetapi orang yang diterangi oleh Allah Ta’ala baginya jalan ilmu, ia harus menyebarkannya, duduk bersama para penuntut ilmu dan orang-orang yang belajar serta kalangan masyarakat awam.

Sesungguhnya hal itu adalah zakatnya ilmu dan kewajiban menyebarkannya. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat kepada Waki’ bin al-Jarrah. Semua harinya digunakan untuk berbuat taat kepada Allah Ta’ala. Dia melakukan puasa dahr (setahun penuh). Di pagi hari, dia duduk (mengajar) untuk para ahli hadits hingga siang mulai menanjak naik, kemudian dia pulang. Dia tidur siang hingga waktu shalat Zhuhur. Kemudian keluar (rumah) melaksanakan shalat Zhuhur dan dia menuju jalan yang digunakan, yang dinaiki oleh para penimba air, lalu mereka mengisi timba mereka. Maka, dia mengajar Al-Qur’an kepada mereka yang digunakan untuk menunaikan kewajiban hingga batas waktu Ashar. Kemudian dia kembali ke masjidnya. Lalu shalat Ashar. Kemudian dia duduk mempelajari Al-Qur’an dan berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga akhir siang, kemudian dia masuk rumahnya, lalu dihidangkan kepadanya sajian berbuka puasa.”[2]

Imam ath-Thabari di musim panas, tidak ketinggalan hais[3], raihan (kemangi) dan lainaufar[4]. Apabila selasai makan, dia tidur di khaisy[5] di baju yang pendek lengan bajunya, dicelup dengan kayu cendana dan air mawar.

Kemudian dia bangun dan shalat Zhuhur di rumahnya (di masjidnya). Menulis karangannya sampai waktu Ashar. Kemudian keluar untuk menunaikan shalat Ashar. Duduk untuk manusia dibacakan kitab-kitab atasnya hingga waktu maghrib. Kemudian beliau duduk untuk membacakan fiqih dan mengajar di hadapannya hingga waktu shalat Isya yang terakhir. Kemudian beliau masuk ke dalam rumahnya. Dia membagi malam dan siangnya untuk kebaikan dirinya, agamanya dan semua makhluk, seperti taufiq yang diberikan Allah ta’ala kepadanya.

Mereka (ulama di masa lalu), memegang sabar dengan tali kekangnya, ketetapan hati dengan pengendaliannya. Mereka didorong oleh cita-cita yang tinggi, harapan yang luas, dan karunia besar dari Allah Ta’ala.

Al-Khathib al-baghdadi mendengar Shahih al-Bukhari dari Ismail bin Ahmad al-Hariri di Makkah dalam tiga majelis; dua kali di malam hari. Dia mulai membaca di waktu Maghrib dan mengkhatamkannya ketika shalat Fajar. Dan yang ketiga dari waktu dhuha hingga terbitnya fajar. Adz-Dzahabi berkata, “Ini adalah suatu hal yang tidak ada seorangpun di masa kami yang mampu melakukannya. Kemungkinan diantara penyebab kemudahan hal ini adalah berkah waktu yang di saat itu.”[6]

Tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah taufiq dari Allah Ta’ala kepada mereka dan bantuanNya disertai kesabaran dan keteguhan mereka. Mereka adalah pemilik semangat dan keteguhan hati. Ibnu al-jauzi berkata, “Saya berkeliling atas beberapa syaikh untuk mendengarkan hadits, maka terputus nafasku karena berlari agar tidak terlambat.”[7]

Apabila anginmu bertiup, maka ambillah keuntungannya
Maka bagi setiap hembusan angin ada ketenangan

Adapun membelokkan tunggangan di sisi ulama dan sabar dalam menuntut ilmu yang kita dengar dan tidak kita lihat, maka kemungkinan kita bias memaparkan sebagian dari kehidupan para ulama ummat dan kesabaran mereka atas menuntut ilmu serta kesungguhan atasnya.

Jarir bin Hazim berkata, “Saya duduk (belajar) kepada Hasan selama tujuh tahun, tidak pernah ketinggalan walau hanya satu hari.”[8]

Benar, tujuh tahun terus menerus tidak pernah ketinggalan satu hari pun. Sesungguhnya ia adalah kehidupan, muraja’ah, menghafal dan mudzakarah. Dihiasi ketenangan. Diperindah sifat sabar terhadap kerasnya kehidupan dan terhadap mengulang-ulangi, muraja’ah, meneliti, penelitian diantara garis dan dalam isi kitab-kitab.

Diantara contoh-contoh membaca isti’radh (membaca cepat, tidak mendetail) adalah yang pernah dialami oleh al-Imam asy-syafi’i Rahimahullah tatkala ditanya tentang dalil masalah ijma’. Maka, dia membaca Al-Qur’an tiga kali (secara cepat) di dalam satu malam hingga beliau mendapat petunjuk kepada tempatnya. Yaitu firman Allah Ta’ala :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa ; 115)

Az-Zuhri berkata, seolah-oleh ia (Al-Qur’an) berbicara tentang kondisi mereka dan melihat perbuatan mereka; ada dua golongan yang tidak pernah kenyang (puas) : penuntut ilmu dan pencari dunia.

Pencari dunia, telah bertebaranlah debunya dan kita telah mengetahui beritanya secara konkret. Adapun penuntut ilmu, ia terdapat di dalam kitab-kitab, perilaku dan peringatan. Semoga Allah Ta’ala tetap memelihara sisa dari para ulama kita dan para penuntut ilmu di zaman kita.

Ibnu Hajar membaca Sunan Ibnu Majah pada empat majelis, membaca Shahih Bukhari pada empat majelis selain majelis khataman, dan hal itu hanya dalam waktu dua hari lebih sedikit. Sesungguhnya duduknya dari pagi hari hingga Zhuhur. Dia membaca kitab an-Nasa’i, al-Kabir pada sepuluh majelis. Setiap majelis dalam waktu empat jam. Yang paling cepat yang terjadi baginya adalah dia membaca Mu’jam ath-Thabrani ash-Shaghir pada satu majelis diantara shalat Zhuhur dan Ashar; dan kitab ini terdiri dari satu jilid yang mengandung sekitar seribu lima ratus hadits. Dan beliau meriwayatkan hadits al-Bukhari pada sepuluh majelis. Setiap majelis terdiri dari empat jam.[9]

Wahai penuntut ilmu :

Sesungguhnya hati memiliki syahwat dan sikap berpaling. Maka ambillah keuntungan disaat syahwat dan menghadapnya, dan tinggalkanlah dia disaat terputus dan berpalingnya.[10]

Para pemilik semangat yang tinggi dan ketetapan hati yang benar adalah pendirian-pendirian yang mantap dalam menuntut ilmu dan berusaha untuk ilmu itu.

Abu Darda berkata, “Jika satu ayat dari Al-Qur’an menyusahkan saya (pemahamannya), lalu saya tidak menemukan orang lain yang bias menjelaskannya kepadaku kecuali seorang lelaki di Bark al-Ghimad[11], niscaya saya berangkat kepadanya.”[12]

Diriwayatkan dalam tarjamah Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh bahwa beliau berkata, “Saya lebih mengenal para perawi hadits ketimbang orang-orang dar’iyah (pasukan yang memakai baju besi, pent).”[13]

Adapun kesungguhan dan hasil karya mereka, merupakan suatu hal yang tidak mampu dilakukan orang-orang yang meremehkan dan selalu terlambat waktu. Maka, alangkah berkahnya waktu penuntut ilmu di sisi mereka dan alangkah luasnya saat menyebarkannya. Sesungguhnya hal itu adalah waktu-waktu yang mereka bangun karena menuntut ilmu, kemudian menyampaikannya.

Di manakah kita dibandingkan mereka?

Murid-murid Abu Ja’far Muhammad bin Jarir menghitung sejak baligh hingga meninggal dunia, mereka membagi kepada masa menulisnya, maka jadilah (dia menulis) setiap hari sebanyak dua belas lembar.[14]

Tidaklah mereka mengetahui amal ibadah melainkan mereka berusaha mempraktikkan dan mengamalkannya. Syaikh Abu Umar al-Maqdidi hamper-hampir beliau tidak mendengar doa kecuali menghafalkan dan berdoa dengannya, tidak mendengar sebutan tentang shalat (sunnah) kecuali beliau melaksanakan shalatnya, tidak mendengar satu hadits kecuali mengamalkannya. Beliau meninggal dunia disaat menggenggam jari-jarinya untuk bertasbih.[15]

Inilah Ibnu Jarir, dia gigih menulis sejarah dan berkata kepada kawan-kawannya, “Apakah kalian rajin menulis sejarah dunia?” Mereka menjawab, “Berapa jumlahnya?” Maka dia menyebutkan sekitar tiga puluh ribu lembar. Mereka menjawab, “Ini bias menghabiskan usia sebelum rampung.” Beliau berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, semangat telah mati.”[16]

Ibnu al-Jauzi berkata dalam otobiografinya, “Aku menulis dengan jariku sebanyak dua ribu jilid, bertaubat melalui kedua tanganku sebanyak seratus ribu orang, dan masuk Islam lewat kedua tanganku sebanyak dua puluh ribu orang.”[17]

Wahai penuntut ilmu,
Dan siapa yang tidak merasakan pahitnya menuntut ilmu sekejap pun
Niscaya dia meneguk hinanya kebodohan sepanjang hidupnya

Dan siapa yang ketinggalan belajar di masa mudanya
Maka ucapkanlah takbir empat kali kepadanya karena kematiannya

Kerahkanlah pendengaranmu kepada ungkapan yang menyebut tentang realitas kita. Para ulama sangat sedikit dan para penuntut ilmu sangat langka. Imat telah menggeluti ilmu-ilmu modern, tetapi meninggalkan pemahaman terhadap agama dan apa yang seharusnya mereka ketahui tentang agama ini.

Adapun ilmu menuju ke akhirat dan yang dilalui para ulama salafus shalih yang dinamakan oleh Allah ta’ala dalam kitabNya: fiqh, hikmah, ilmu, cahaya (dhiya’), nur, hidayah (petunjuk) dan rusyd, semuanya telah ditinggalkan diantara manusia dan menjadi sesuatu yang lupa dan dilupakan.[18]

Ibnu Taimiyah berkata, “Diantara semua ilmu, ada beberapa ilmu yang jikalau diketahui kebanyakan manusia justru berbahaya bagi mereka. Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat. Dan tidaklah pengetahuan kebanyakan manusia tentang hikmah Allah pada segala sesuatu, bermanfaat bagi mereka, bahkan terkadang membahayakan. Firmana Allah Ta’ala :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu…” (QS. Al-Maidah : 101)

Wahai kekasih :

Bukankah ini adalah realitas kita dan apa yang kita lihat dan kita saksikan? Sehingga engkau saksikan kebodohan terhadap perkara-prkara aqidah, kesalahan dalam shalat yang dilakukan kebanyakan mereka yang shalat, kebodohan terhadap pokok agama, bukan cabang-cabangnya, dimana tidak ada yang mengetahui dasar-dasar agama di setiap kota selain dalam jumlah hitungan jari. Hanya Allah Ta’ala tempat meminta pertolongan.


Catatan kaki :

[1] Shaid al-Khathir
[2] Tarikh Baghdad 13/501
[3] Hais adalah kurma yang dicampur samin dan keju serta diadoni dengan kuat, terkadang diberikan pula tepung.
[4] Satu sejis wangi-wangian yang tumbuh di air yang tenang.
[5] Pakaian halus dalam tenunannya dan jahitannya kasar. Dibikin dari sisa-sisa benang (afal). Dipakai di musim pasan ketika tidur.
[6] Qawa’id at-Tauhid karya al-Qasimy hal. 262
[7] Laftah al-Kabid fi Nashihah al-Walad hal. 3
[8] Tadzkirah al-Huffazh 1/199
[9] Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Syaikh al-Islam Ibnu Hajar hal. 104
[10] Al-Fawa’id hal. 193
[11] Nama satu tempat yang jarak diantaranya dan Makkah perjalanan selama lima hari
[12]As-Siyar 2/342
[13] Ad-Durar as-Saniyah 2/342
[14] Tadzkirah al-huffazh 2/711
[15] Satdzarrat adz-Dzahabi 5/28
[16] Tadzkirah al-Huffazh 2/712
[17] Tadzkirah al-Huffazh 4/1344
[18] Shaid al-Khathir hal. 230 dan yang sesudah dengan ringkas

Disalin dari kitab Pewaris Nabi, hal. 48-57. Darul Haq
Judul asli : Warastatul Anbiya’, Syaikh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim

About This Blog

"I dedicate this blog to myself personally and to my brothers the other as an advice that can bring us closer to Allah.

I hope this blog can provide many benefits to humankind, especially to improve the quality of our faith in Allah."

About Me

"I am a Muslim, and I am proud to be a Muslim. I am very grateful to my Lord because He has made me a Muslim. I also gained will always beg Him for he always makes me a Muslim until I meet Him in the wilderness masyhar. I really love my religion, therefore, I will fight for it with gusto. if you are a Muslim and also love your religion, then we will meet in a state of loving. But if you are against me and my religion, then we'll be seeing in the field of jihad. whoever you are!!!"

Total Tayangan Halaman