Muhammad Yusrinal

Yang Terbaik Diantara Kalian Adalah Yang Mempelajari Al-Qur'an Dan Yang Mengajarkannya

Niat dan Ikhlas

Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata :
“Meninggalkan suatu amal karena manusia adalah riya, baramal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas adalah mengerjakan dan meninggalkan sesuatu karena Allah semata.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 17)

Abdullah bin Mubarak Rahimahullah berkata :
“Berapa banyak amalan kecil menjadi besar pahalanya karena niat dan berapa banyak pula amalan besar menjadi kecil pahalanya karena niat.”
(Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, 12)

Rabi’ bin Khutsaim Rahimahullah berkata :
“Segala sesuatu yang dilakukan tidak untuk mencari ridha Allah, pastilah ia akan sia-sia.”
(Shifatu Ash-Shafwah, III/61)

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata :
“Amal yang dilakukan tanpa keikhlasan dan kepasrahan, bagaikan seorang musafir yang memenuhi kantongnya dengan pasir sehingga memberatkan dan tidak memberi manfaat apa-apa baginya.”
(Al-Fawa’id, 55)

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata :
“Orang yang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukannya.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 17)

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata :
“Semoga Allah menyayangi seorang hamba yang berhenti, tatkala berkeinginan untuk beramal. Jika amal itu untuk Allah, dia segera mengamalkannya dan jika untuk selainNya, dia mengakhirkannya.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 77)

Ilmu dan Amal

Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata :
“Rendah dirilah kalian pada orang yang mengajarkan ilmu dan rendah diri pula pada orang yang kalian ajari, janganlah kalian menjadi para ulama yang kasar.”
(Al-Adab Asy-Syar’iyyah, I/243)

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu berkata :
“Jadilah kalian orang-orang rabbani, hukama (ahli hikmah) dan fuqaha. Dikatakan bahwa rabbani adalah orang yang mendidik manusia dari ilmu yang kecil hingga yang besar.”
(Fath Al-Bari, I/212 dan Syarhu As-Sunnah, I/194)

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Kalian berada pada masa dimana beramal lebih baik dari berilmu, dan akan datang suatu zaman ilmu lebih baik daripada beramal.”
(Tanbih Al-Ghafilin, 199)

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Meninggalnya seorang alim merupakan sebuah celah dalam Islam, dan tidak ada sesuatu yang bisa menambalnya, selama malam dan siang tidak bisa bersatu.”
(Syarhu As-Sunnah, I/244)

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Hendaklah kalian memiliki ilmu sebelum ilmu itu diangkat dan dilenyapkan, lenyapnya ilmu dengan wafatnya orang yang mengajarkannya. Seorang tidak akan mungkin dilahirkan dalam keadaan berilmu, karena sesungguhnya ilmu itu didapatkan dengan belajar.”
(Tahdzib Mau’idhah Al-Mu’minin, 16)

Mu’adz bin Jabal Radhiyallah anhu berkata :
“Pelajarilah ilmu, karena mempelajari ilmu karena Allah menceriminkan ketakutan; mencarinya ibadah; mengkajinya adalah tasbih; membahasnya adalah jihad; mengajarkan kepada orang yang tidak tahu adalah shadaqah; membelanjakan untuk keluarga adalah bentuk taqarrub. Ilmu adalah pendamping saat sendirian dan teman karib saat sepi.”
(Minhaju Al-Qasidin, 15)

Amr bin Al-Ash Radhiyallahu anhu berkata :
“Orang yang berakal bukanlah orang yang sekedar mengetahui yang baik dari yang buruk, akan tetapi orang yang berakal adalah yang mengetahui mana yang baik dari dua keburukan.”
(Siyaru Al-A’lam An-Nubala, III/74)

Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata :
“Apabila kalian mendapatkan seorang alim yang mendekati penguasa, maka waspadalah karena ia adalah pencuri.”
(Mukhtashar Minhaju Al-Qasidin, 21)

Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata :
“Celakalah orang yang tidak mengetahui sesuatu lalu ia mengatakan, ‘Saya mengetahuinya’.”
(Al-Adab Asy-Syar’iyyah, II/65)

Sa’id bin Al-Musayyib Rahimahullah berkata :
“Sungguh, Aku akan berjalan siang dan malam hanya untuk mencari satu hadits saja.”
(Tahdzib Siyaru A’lam An-Nubala, II/37)

Sa’id bin Al-Musayyib Rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya hamba Allah itu bukanlah orang yang berpuasa dan shalat, akan tetapi mereka adalah yang faqih di dalam agamanya dan berfikir dalam urusannya.”
(Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, I/118)

Nasehat Imam Malik kepada Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah :
“Sesungguhnya aku melihat Allah telah menganugerahkan cahaya dalam hatimu, maka janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan berbuat maksiat.”
(Jawabu Al-Kafi, 140)

Imam Syafi’i Rhimahullah berkata :
“Aku mengadu kepada Waki (nam guru beliau) mengenai buruknya hafalanku,
Maka beliau menyarankan agar aku meninggalkan maksiat
Dan ketahuilah bahwa ilmu adalah keutamaan
Dan keutamaan Allah tak akan diberikan kepada orang-orang yang berbuat maksiat.”
(Jawabu Al-Kafi, 140)

Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah berkata :
“Berlindunglah kepada Allah dari fitnah seorang hamba yang bodoh dan fitnah seorang berilmu yang berbuat kejelekan, karena fitnah keduanya adalah sumber dari segala fitnah.”
(Imam Baghawai, Syarhu As-Sunnah, II/318)

Imam Az-Zuhri Rahimahullah berkata :
“Apabila suatu majlis berlama-lama, maka di dalamnya adalah bagian bagi setan.”
(Siyaru Alam An-Nubala, bab Adabu Da’wah)

Imam Asy-Sya’bi Rahimahullah berkata :
“Kami bukanlah termasuk fuqaha. Tetapi, bila kami mendengarkan hadits, kami meriwayatkannya. Yang disebut fuqaha adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya.”
(Tahdzib Suyaru A’lam An-Nubala, II/390)

Muhammad bin Ka’ab Al-Qurthubi Rahimahullah berkata :
“Apabila Allah Ta’ala menghendaki seorang hamba menjadi baik, maka terdapat pada dirinya tiga perkara ; faqih terhadap urusan din, zuhud terhadap dunia dan selalu melihat aib-aibnya sendiri.”
(Shifatu Ash-Shafwah, II/132)

Ibrahim Al-Khawas Rahimahullah berkata :
“Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya meriwayatkan hadits, akan tetapi sesungguhnya orang yang berilmu itu adalah orang yang mengikuti ilmu, mengamalkannya dan mengikuti sunnah-sunnah, meskipun ia hanya memiliki sedikit ilmu.”
(Al-I’tisham, II/129)

Abdullah bin Mubarak Rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya awal dari ilmu itu adalah niat, kemudian mendengar, memahaminya, mengamalkannya, menghafalnya lalu menyebarkannya.”
(Kitabu Al-Jihad, 36)

Al-Muzani Rahimahullah berkata :
“Saya mendengar Asy-Syafi’i pernah mengatakan, ‘Barangsiapa yang mempelajari Al-Qur’an, maka tinggilah derajatnya, barangsiapa yang berkata dengan ilmu fiqih, maka berkembanglah semangatnya, barangsiapa menulis hadits, maka kuatlah hujjahnya, barangsiapa yang mempelajari bahasa akan menjadi lembutlah perangainya, barangsiapa yang mempelajari ilmu hisab maka akan tepatlah pendapatnya, dan barangsiapa yang tidak menggugah hati dan jiwanya (untuk belajar) tiada bermanfaat kemampuannya.”
(Tahdzib Siyaru A’lam An-Nubala, II/734)

Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata :
“Kalaulah bukan karena ulama tentulah manusia seperti binatang.”
(Minhaju Al-Qashidin, 12)

Rabi’ Rahimahullah berkata :
“Ilmu adalah sarana untuk mendapatkan setiap keutamaan.”
(Tahdzib Siyaru Al-A’lam An-Nubala, IV/523)

Imam Ahmad Rahimahullah berkata :
“Manusia sangat membutuhkan ilmu, melebihi kebutuhannya terhadap roti dan air, karena ilmu dibutuhkan oleh manusia dalam setiap saat. Sedangkan roti dan air dibutuhkan oleh manusia sekali atau dua kali dalam sehari.”
(Al-Adab Asy-Syar’iyah, II/44-45)

Imam Az-Zuhri Rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya lenyapnya ilmu itu disebabkan oleh lupa dan tidak mengulang kembali ilmu tersebut.”
(Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam An-Nubala, V/337)

Abu Yazid An Nasyali Rahimahullah berkata :
“Ilmu bagaikan gembok dan kuncinya adalah bertanya.”
(Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, II/62)

Abdullah bin Al-Mu’taz Rahimahullah berkata :
“Tergelincirnya orang alim adalah bagaikan pecahnya bahtera, dia tenggelam dan tenggelam bersamanya banyak manusia.”
(Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, II/27)

Berpegang Teguh Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Ikutilah sunnah Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan jangan membuat perkara yang baru (bid’ah), maka sungguh hal itu telah cukup bagi kalian.”
(Syarh Ushuli Al-I’tiqad As-Sunnah, Al-Lalika’i, I/84, no. 104)

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Sesungguhnya kami mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan tidak mengada-ada. Kami mengikuti beliau dan tidak membuat perkara yang baru. Dan sekali-kali kami tidak akan tersesat selama mengikuti atsar.”
(Syarh UshuliAl-I’tiqad Ahli As-Sunnah, Al-Lalika’i, I/84, no. 106)

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Sedikit dalam hal sunnah adalah lebih baik daripada banyak dalam hal bid’ah.”
(Syarh Ushuli Al-I’tiqad Ahli As-Sunnah, Al-Lalika’i, I/87, no. 114)

Sahl At-Tusturi Rahimahullah :
“Landasan kita ada tujuh perkara : berpegang kepada Kitabullah, mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, memakan makanan yang halal, menahan dari menyakiti orang lain, menjauhi dosa, taubat dan menunaikan hak-hak.”
Asy-Syathibi, Al-I’thisham, I/126)

Malik bin Dinar Rahimahullah berkata :
“Semoga Allah menyayangi seorang hamba yang berkata kepada dirinya, ‘Tidakkah engkau berkehendak untuk begini, tidakkah engkau berkehendak untuk begini.’ Kemudian dia mencelanya, lalu membungkamnya. Selanjutnya dia menetapkan Al-Qur’an menjadi pembimbing baginya.”
(Tazkiyatu An-Nufus, 76)

Nilai Waktu

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Sungguh aku benci melihat seseorang yang menganggur, tidak mengerjakan urusan dunia maupun akhirat.”
(Siyar A’lamin Nubala, IV/585)

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Usiamu semakin berkurang seiring dengan perjalanan waktu malam dan siang, sementara segala amalan akan tersimpan dan kematian akan datang secara mendadak.” (Al-Fawa’id, 147)

Al-Hasan Rahimahullah berkata :
“Aku bertemu pada suatu kaum yang masing-masing mereka lebih pelit dalam memelihara umur daripada hartanya.”
(Siyar A’lam An-Nubala, XIV/225)

Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata :
“Wahai Anak Adam, sesungguhnya kamu hanyalah kumpulan hari-hari. Setiap hari itu berlalu, maka berarti hilanglah bagianmu.”
(Siyar A’lam An-Nabala, I/496)

Yahya bin Hubairah Rahimahullah berkata :
“Waktu akan semakin berharga bila dijaga dengan sebaik-baiknya. Aku melihat waktu itu sesuatu yang paling mudah kau sia-siakan.”
(Aina Nahun min Akhlaqi As-Salaf, 131)

Ibnul Qayyim Al-Jaauziyah Rahimahullah berkata :
“Menyia-nyiakan waktu itu lebih berbahaya daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu itu memutuskanmu dari Allah Ta’ala dan Hari Akhirat, sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan isinya.”
(Al-Fawa’id, 104)

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah berkata :
“Demi Allah, hari demi hari berjalan hanya untuk tidur, maka bangunlah. Sungguh orang-orang terdahulu telah mendapatkan kemenangan.”
(Al-Fawa’id, 54)

Amal

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Seseorang tidaklah bertaqwa sehingga ia berilmu, dan tidaklah seseorang berilmu sampai mengamalkan ilmu yang telah ia ketahui.”
(Hayatu Ash-Shahabah, III/244)

Abu Darda Radhiyallahu anhu berkata :
“Bila pagi telah datang berkumpullah pada diri seseorang hawa nafsu dan amalannya. Apabila amalannya mengikuti hawa nafsunya, maka harinya menjadi hari yang jelek. Tetapi bila hawa nafsunya mengikuti amalannya, maka harinya menjadi hari yang baik.”
(Shifatus Ash-Shafwah, I/636)

Malik bin Dinar Rahimahullah berkata :
“Seseorang yang berilmu jika ia tidak beramal dengan ilmunya, maka akan hilang kharisma dari hatinya, sebagaimana hilangnya embun di atas batu padas.”
(Shifatu Ash-Shafwah, III/283)

Malik bin Dinar Rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya jika kamu menuntut ilmu untuk diamalkan berarti kamu telah dipatahkan oleh amal. Dan jika kamu menuntutnya bukan untuk diamalkan, niscaya tidaklah akan bertambah kepadamu kecuali hinaan belaka.”

Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah berkata :
“Tidaklah aku ketahui suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu dan menjaganya bagi siapa yang dikehendaki oleh Allah.”
(Syarhu As-Sunnah, I/193)

Ibnu Syibah Rahimahullah berkata :
“Bagi seorang yang bodoh, menuntut ilmu itu lebih utama daripada berbuat sesuatu, dan bagi orang yang berilmu beramal itu lebih utama daripada menuntut ilmu.”
(Al-Adab Asy-Syar’iyah, II/44)

Sabar

Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu berkata :
“Kami diuji dengan kesempitan, maka kamipun bersabar, dan ketika kami diuji dengan kelapangan justru kami tidak bersabar.”
(Minhaju Al-Qashidin, 272)

Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata :
“Tidaklah Allah menganugerahkan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu Dia mencabutnya dan sang hamba bersabar atasnya, kecuali Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.”
(Tazkiyatu An-Nufs, 92)

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata :
“Kefakiran dan kekayaan merupakan dua tunggangan, dan aku tidak peduli mana yang akan aku jadikan tunggangan, jika fakir, maka di dalamnya ada kesabaran dan jika kaya, maka di dalamnya ada kerja keras,”
(Tahdzib Madariju As-Salikin, II/604)

Al-Hasan Rahimahullah berkata :
“Kesabaran itu salah satu dari perbendaharaan yang baik, Allah tidak akan memberikan kesabaran kecuali kepada hamba-hamba yang mulia di sisi-Nya.”
(Minhaju Al-Qashidin, 272)

Zuhair bin Nua’im Rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya urusan din ini tidak akan sempurna melainkan dengan dua hal ; kesabaran dan keyakinan. Tidak akan sempurna keyakinan kalau tidak ada kesabaran, dan tidak akan sempurna kesabaran tanpa keyakinan.”
(Shifatu Ash-Shafwah, 418)

Abu Thalib bin Abdus Sami’ Rahimahullah berkata :
“Sabar dalam meghadapi kesusahan, mendatangkan banyak manfaat.”
(Tahdzib Siyar A’lam An-Nubala,IV/1363)

Taubat dan Istighfar

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata :
“Allah tidak akan memberikan ilham kepada seorang hambaNya untuk beristighfar, sementara pada saat yang bersamaan Dia hendak memberikan adzab kepadanya.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 52)

Aisyah Radhiyallahu anha berkata :
“Beruntunglah orang-orang yang mendapat dalam catatan amal perbuatannya memuat banyak istighfar.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 51)

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Ridhalah terhapa apa yang Allah telah berikan padamu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya. Jauhilah hal-hal yang dilarang Allah niscaya engkau menjadi orang yang paling wara’, tunaikanlah apa yang sudah menjadi kewajibanmu, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling ahli dalam ibadah.”
(Siyaru A’lam An-Nubala, I/497)

Yahya bin Mu’adz Rahimahullah berkata :
“Menurutku apa yang termasuk keterpedayaan terbesar adalah terus-menerus berbuat dosa sambil berharap maaf tanpa penyesalan, mengharap dekat dengan Allah tanpa berbuat ketaatan, menunggu masa panen surga padahal menanam benih neraka, mengharap negeri orang-orang yang taat dengan berbagai kemaksiatan, menunggu balasan tanpa usaha, dan mengharap kepada Allah dengan kelalaian.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 114)

Imam Qatadah Rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepadamu tentang penyakitmu dan obat penangkalnya. Adapun penyakitnya adalah dosa-dosamu, sedangkan obatnya adalah istighfar.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 51)

Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata :
“Istighfar yang tidak disertai penghentian dari berbuat dosa, adalah seperti taubatnya pendusta.”
(Tahdzib Maw’idah Mukminin, 74)

Ibrahim bin Sufyan Rahimahullah berkata :
“Apabila rasa takut bersemayam dalam hati seseorang, ia akan merubah perasaan syahwatnya dari hatinya dan mengusir rasa cinta dunia.”
(Tahdzib Madariju As-Salikin, I/433)

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata :
“Bertaubat dari dosa seperti meminum obat terhadap penyakit, betapa banyak obat yang karenanya menjadikan orang sehat.”
(Al-Fawa’id, 74)

Ibnul Mubarak Rahimahullah berkata :
“Kulihat dosa-dosa mematikan hati
Membiasakannya berarti mewariskan kehinaan
Meninggalkan dosa berarti menghidupkan hati
Yang terbaik bagimu melindungi diri dari dosa
Tidaklah din ini rusak, melainkan ulah para raja
Sedang yang membahayakan adalah para ulama dan pendeta-pendetanya.”
(Tahdzib Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah, 326)

Al-Qur’an

Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu berkata :
“Kalau hati kita ini bersih, maka kita tidak akan puas membaca Al-Qur’an.”
(Ighatsatul Lahfan min Mashayidisy-Syayathin, I/64)

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata :
“Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an dan mengikuti apa yang ada di dalamnya, maka Allah Ta’ala akan menunjukinya dari kesesatan dan menjauhkan darinya hisab yang buruk di Hari Kiamat.”
(Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an, IX/1)

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Janganlah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, berjalanlah dengan ajaran Al-Qur’an ke manapun ia mengarah. Barangsiapa yang datang kepadamu membawa kebenaran, terimalah ia meskipun ia orang yang jauh dan yang engkau benci. Barangsiapa yang datang kepadamu dengan membawa kebathilan, maka tolaklah ia meskipun kerabat yang engkau cintai.”
(Shifatu Ash-Shafwah, I/419)

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Ada tiga hal yang barangsiapa ada pada dirinya, maka Allah Ta’ala akan memenuhi hatinya dengan keimanan; mencintai orang-orang yang faqih, membaca Al-Qur’an dan melaksanakan puasa.”
(Al-Adab Asy-Syar’iyyah, III/544)

Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu anhu berkata :
“Tidak akan terjadi Hari Kiamat sampai Al-Qur’an itu dikembalikan di tempatnya dimana ia diturunkan, Al-Qur’an itu mempunyai dengungan di sekitar Arsy, sebagaimana dengan lebah, maka Allah berfirman, ‘Ada apa denganmu?’ Ia menjawab, ‘Wahai Rabbku, aku ini dibaca namun aku tidak diamalkan’.”
(Syarhu As-Sunnah, I/317)

Jundub bin Junabah Radhiyallahu anhu berkata :
“Ketika kami masa anak-anak (mendekati dewasa) pernah bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, maka kami pelajari masalah-masalah keimanan, baru kami memperlajari Al-Qur’an. Setelah kami memperlajari Al-Qur’an bertambahlah keimanan kami.”
(Syiar A’lam An-Nubala, III/175)

Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata :
“Orang-orang yang membawa (mengamalkan) Al-Qur’an ibarat orang yang membawa panji-panji Islam. Ia tidak pernah bercanda bersama orang-orang yang bercanda, tidak pula bermain bersama orang-orang yang bermain, sebagai bukti pengagungan dia kepada Allah Ta’ala.”
(Mukhtashar Minhaju Al-Qashidin, 50)

Dzikir

Umar bin Khaththab Radhiyallau anhu berkata :
“Saya tidak menyangsikan diperkenankan doa, tetapi saya menyangsikan doa itu sendiri, karena barangsiapa yang memperoleh ilham untuk berdoa, maka jelas perkenan Allah bersamanya.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 55)

Al-Hasan Rahimahullah berkata :
“Dzikir itu ada dua macam yaitu dzikir kepada Allah Ta’ala antara dirimu sendiri dan diantara Allah. Alangkah baiknya dan besar pula pahalanya, akan tetapi dzikir yang lebih afdhal dari itu adalah berdzikir kepada Allah Ta’ala di waktu menghadapi suatu yang diharamkan oleh Allah.”
(Tahdzib Mau’idah Mukminin, 69)

Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya rumah yang disebut nama Allah, di dalamnya akan menerangi pemilik rumah sebagaimana lampu yang menerangi rumah yang gelap. Sedangkan rumah yang tidak pernah disebut nama Allah di dalamnya akan menjadikan penghuninya berada dalam kegelapan.”
(Tanbihu Al-Ghafilin, 186)

Qiyamul Lail

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Apabila aku berpuasa, aku menjadi lemah dalam menjalankan shalat. Karenanya, aku memilih shalat daripada berpuasa.”
(Minhaju Al-Qashidin, 40)

Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata :
“Aku tidak mendapatkan sedikitpun dari ibadah yang lebih berat daripada shalat di tengah malam.” Ada seorang bertanya, “Mengapa orang-orang yang rajin shalat malam berseri-seri?” Dia menjawab, “Karena mereka suka menyendiri dengan Ar-Rahman, lalu Dia memberinya sebagian dari cahaya-Nya.”
(Minhaju Al-Qashidin, 63)

Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah berkata :
“Aku tidak bisa shalat malam selama lima bulan disebabkan oleh dosa yang telah kuperbuat.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 61)

Abu Sulaiman Rahimahullah berkata :
“Malam hari, bagi mereka yang biasa mengerjakan shalat malam, lebih nikmat daripada orang-orang yang bercanda ria di tempat bercanda. Seandainya tidak ada waktu malam, tidak ada lagi yang aku senangi dari dunia ini.”
(Minhaju Al-Qashidin, 64)

Ibnul Munkadir Rahimahullah berkata :
“Tiada tersisa dari kelezatan dunia ini melainkan tiga hal, yaitu ; shalat lail, bertemu dengan ikhwan dan shalat jama’ah.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 62)

Taqwa

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata :
Taqwa adalah takut kepada Allah, beramal sesuai Al-Qur’an, menerima terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap untuk menghadapi Hari Akhir.”
(Misaq Al-Amal Al-Islami, 194)

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu berkata :
“Orang-orang yang bertaqwa adalah pemimpin, orang-orang faqih adalah komandannya dan bermajelis dengan mereka adalah suatu tambahan.”
(Syarah Ushuli I’tiqad Ahli Sunnah, Al-Lalika’i, I/497 dan Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, I/143)

Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata :
“Orang yang bertaqwa adalah mereka yang menjaga dari apa-apa yang Allah haramkan atas mereka, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Allah atas mereka.”
(Jami’u Al-Ulum wa Al-Hikam, 158)

Thaliq bin Habib Rahimahullah ketika ditanya tentang definisi taqwa, menjawab :
“Takutlah kalian dengan penuh rasa taqwa.” Apakah ketaqwaan itu, sebutkanlah tanda-tandanya! Ia berkata, “Berbuat kebaikan adalah cahaya dari Allah yang mengharapkan balasan kebaikan, sedangkan meninggalkan maksiat adalah cahaya Allah karena rasa takut dengan adzabNya.”
(Siyaru A’lam An-Nubala, IX/455)

Dalam riwayat lain, Thaliq bin Habib Rahimahullah berkata :
“Beramal ketaatan kepada Allah dengan cahayaNya karena mengharap pahalaNya dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan cahaya dariNya karena takut adzabNya.”
(Tahdzib Siyaru A’lam An-Nubala, I/404)

Musa bin A’yun Rahimahullah berkata :
“Orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang membersihkan diri dari sesuatu yang halal takut akan terjerumus kepada hal-hal yang haram, maka Allah menamakan mereka Al-Muttaqun.”
(Jami’u Al-Ulum wa Al-Hikam, 158)

Mengingat Kematian

Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu berkata :
“Sekiranya aku tahu bahwa Allah telah menerima satu kali saja sujudku, niscaya tidak ada suatu perkara ghaib yang paling aku sukai, selain kematian.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 74)

Amar bin Yasir Radhiyallahu anhu berkata :
“Cukuplah kematian sebagai petunjuk, yakin sebagai kekayaan dan ibadah sebagai amalan.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 65)

Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata :
“Seandainya hatiku tidak mengingat kematian, aku sangat takut hatiku akan rusak.”
(Tahdzib Siyar A’lam An-Nubala, I/394)

Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata :
“Kematian membuat dunia menjadi remeh. Ia tak menyisakan sedikitpun kesenangan di dalamnya. Selama seorang hamba menyibukkan hatinya dengan mengingat maut, menjadi hinalah dunia dan seluruh yang ada di dalamnya dalam pandangannya.”
(Minhaju Al-Qashidin, 366)

Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata :
“Sungguh mengherankan keadaan orang-orang yang diperintahkan mempersiapkan bekal dan diseru untuk pergi, namun mereka justru duduk bercanda.”
(Minhaju Al-Qashidin, 366)

Abdullah bin Muththarif Rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya kematian dapat melenyapkan kenikmatan yang dirasakan oleh orang-orang yang diliputi oleh kenikmatan itu. Karenanya, carilah kenikmatan yang tak ada kematiaanya di dalamnya.”
(Tahdzib Mauidah Mukimin, 443)

Abu Athahiyah Rahimahullah berkata :
“Engkau mengharapkan keselamatan, sedangkan dirimu menyelisihi jalanNya. Padahal, perahu tidak mungkin berjalan di atas daratan.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 114)

Muhasabah (Introkspeksi)

Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata :
“Hisablah diri kalian sebelum nanti dihisab dan timbanglah amalan kalian sebelum nanti ditimbang. Yang demikian adalah lebih ringan bagi kalian saat hisab di Hari Akhir nanti. Hendaklah kalian menghisab diri kalian pada hari ini, karena hal itu akan meringankanmu di hari perhitungan esok, pada sidang akbar.”
Imam Ibnul Jauzi, Shifatu Ash-Shafwah, I/286 dan Tazkiyatu An-Nafs, 75)

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata :
“Orang mukmin adalah kuat atas dirinya, dia menghisab dirinya karena Allah. Sesungguhnya bisa jadi hisab itu akan ringan bagi suatu kaum di Hari Kiamat, yang ketika selama di dunia mereka rajin menghisab dirinya. Dan sesungguhnya hisab itu akan berat bagi suatu kaum di Hari Kiamat, yaitu mereka yang tidak melakukan muhasabah di dunia.”
(Tazkiyatu An-Nafs, 75)

Zuhud Terhadap Dunia

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Kalian semua lebih banyak shalat dan lebih bersungguh-sungguh dalam ibadah daripada sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam padahal mereka lebih utama daripada kalian.” Beliau ditanya, Dengan apa mereka lebih diutamakan?” Beliau menjawab, “Karena mereka lebih zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat dibandingkan kalian.”
(Shifatu Ash-Shafwah, I/420)

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Barangsiapa yang menginginkan akhirat, dia akan mengorbankan dunianya. Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka akan mengorbankan akhiratnya. Wahai kaum, korbankanlah yang fana demi sesuatu yang abadi.”
(Siyar A’lam An-Nubala, I/496)

Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata :
“Dengan tawakkal kepada Allah terkumpullah keimana, dan ia berdoa, ‘Ya Allah, aku memohon kepadaMu kebenaran tawakkal padaMu dan kebaikan sangkaan kepadaMu’.”
(Tahdzib Siyaru A’lam An-Nubala, I/393)

Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah berkata :
“Saya tidak pernah melihat kezuhudan yang paling sulit daripada kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita bisa dapati orang zuhud dalam makanan, minuman, harta dan pakaian. Namun kalau kita berikan kekuasaan kepadanya, ia akan mempertahankan dan bermusuhan untuk mempertahankannya.”
(Siyaru A’lam An-Nubala, VII/262)

Sufyan bin Uyainah Rahimahullah berkata :
“Zuhud adalah bersabar dan mendekat dengan kematian.”
(Tahdzib Siyaru A’lam An-Nubala, II/702)

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya orang yang faqih itu adalah orang yang zuhud di dunia, menghendaki akhirat, mengetahui dinnya, terus-menerus beribadah kepada Rabbnya, tidak mengusik kehormatan orang muslim dan harta benda mereka, serta memberi nasehat kepada mereka.”
(Minhaju Al-Qashidin, 15)

Ayyub Rahimahullah berkata :
“Hendaklah seseroang berbuat taqwa. Apabila ia hendak berzuhud, maka janganlah kezuhudannya menjadikan ketidaknyamanan bagi selainnya, seseorang yang sembunyi-sembunyi dalam berbuat zuhud lebih baik daripada seseorang yang terang-terangan berbuat zuhud.”
(Tahdzib Siyaru A’lam An-Nubala, II/214)

Imam Ahmad Rahimahullah berkata :
“Zuhud di dunia adalah memendekkan angan-angan.”
(Tahdzib Madarijus Salikin, I/451)

Al-Junaid Rahimahullah berkata :
“Orang yang zuhud tidak bergembira karena mendapatkan dunia, dan tidak sedih karena kehilangan dunia.”
(Tahdzib Madarijus Salikin, I/453)

Muhammad bin Al-Hanafiyah Rahimahullah berkata :
“Barangsiapa yang memuliakan jiwanya, maka ia tidak berkeinginan terhadap dunia.”
(Shifatu Ash-Shafwah, II/76)

Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata :
“Jika yang rusak diantara kita dari kalangan ulama, maka ia menyerupai orang yahudi. Sedangkan bila ada yang rusak diantara kita dari para hamba, maka ia menyerupai orang nasrani.”
(Iqtidha Ash-Shirathal Mustaqim, 5)

Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata :
“Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk akhirat, sedangkan wara adalah meninggalkan apa yang ditakutkan dapat membahayakan kepentingan akhirat.”
(Tahdzib Madarij As-Salikin, I/453)

Persaudaraan

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu menasehatkan lima hal :
“Pertama, hindarilah olehmu perkataan yang tidak medatangkan manfaat bagimu, bukan pada tempatnya. Berapa banyak orang yang berbicara tidak mendatangkan manfaat baginya dan tidak pada tempatnya, sungguh dia berada dalam kebinasaan. Kedua, janganlah kamu menentang orang yang bodoh dan tidak pula orang yang faqih, karena sesungguhnya orang yang faqih itu akan mengalahkanmu dan orang yang bodoh itu akan menyakitimu. Ketiga, sebutlah hal yang kamu suka dari saudaramu tatkala dia tidak ada di hadapanmu. Keempat, tinggalkan hal yang kamu tidak sukai darinya. Kelima, lakukanlah amalan seseorang yang dia ketahui bahwa amalan tersebut berakibat baik dan mencukupinya.”
(Al-Adab Asy-Syar’iyyah, I/66)

Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata :
“Ikhwan (saudara seiman) kita, lebih berharga daripada keluarga kita. Keluarga hanya akan mengingatkan kita kepada dunia, sedangkan ikhwan kita akan mengingatkan kita kepada akhirat.”
(Zhahirah Dha’fil Iman,24)

Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata :
“Ikhwan yang paling berat bagiku adalah yang membebaniku dan aku merasa waspada darinya, sedangkan ikhwan yang paling ringan di dalam hatiku adalah jika aku bersamanya, sama seperti ketika aku sendirian.”
(Minhaju Al-Qashidin, 102)

Pergaulan

Al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu berkata :
“Seutama-utama manusia pada dirimu adalah manusia yang memberikan rasa takut padamu (kepada Allah).”
(Al-Adab Asy-Syar’iyyah, III/532)

Luqman Al-Hakim berkata kepada anaknya :
“Wahai anakku ada tiga hal yang tidak dapat diketahui kecuali pada tida tempat; Tidak diketahui seseorang yang lembut kecuali pada saat (dia) marah, tidak diketahui seorang yang pemberani, kecuali pada saat perang, dan tidak diketahui seorang saudara, kecuali pada saat kita membutuhkan.”
(Al-Adab Asy-Syar’iyyah, III/534)

Ali Radhiyallahu anhu berkata :
“Pergaulilah (bertemanlah) kepada orang yang melupakan kebaikannya kepadamu dan menyimpan hak-hakmu pada dirinya.”
(Al-Adab Asy-Syar’iyyah, III/538)

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Tiga hal yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan keimanan; berteman dengan orang faqih, membaca Al-Qur’an dan berpuasa.”
(Al-Adab Asy-Syar’iyyah, III/538)

Abu Abdillah Al-Khurrasany Rahimahullah berkata :
“Barang siapa yang sedikit berteman dengan ulama, maka akan pergilah akhiratnya; barangsiapa yang sedikit berteman dengan ikhwan-ukhwannya, maka akan sedikit orang yang menolongnya; dan barangsiapa yang sedikit berteman kepada penguasa, maka akan hilanglah kepentingan dunianya.”
(Al-Adab Asy-Syar’iyyah, III/539)

Amar Ma’ruf Nahyi Munkar

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Sungguh celaka orang yang tidak memiliki hati yang bisa digunakan untuk mengenal yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.”
(Ighastatu Al-Lahfan, I/21)

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Sesungguhnya termasuk kelalaianmu adalah ketika kamu berpaling dari Allah, yaitu ketika engkau melihat sesuatu yang dapat membuatNya murka, namun membiarkannya, tidak memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar karena takut pada sesuatu yang tidak mampu memberi bahaya dan manfaan.”
(Ayna Nahnu min Akhlaqi As-Salaf, 67)

Al-Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata :
“Jika saja ada doa yang mustajab bagiku, niscaya aku akan peruntukkan bagi seorang imam. Karena dengannya akan terciptanya tanggung jawab, maka jika tanggung jawab sudah tercipta akan amanlah peribadatan dan negeri ini.”
(Al-Bidayah wa An-Nihayah, X/631)

Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata :
“Barangsiapa yang meninggalkan amar ma’ruh dan tidak mencegah yang munkar, karena takut kepada makhluk, maka ketaatan akan dicabut darinya.”
(Al-Jawabu Al-Kafy, 129)

Jihad

Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu berkata :
“Tiada suatu kaum yang meninggalkan jihad kecuali Allah pasti menimpakan kehinaan.”
(Bidayah wa An-Nihayah, V/248)

Khalid bin Walid Radhiyallahu anhu berkata :
“Tidak ada yang dapat menandingi kegembiraanku bahkan lebih gembira dari saat malam pengantin, yaitu suatu malam yang sangat genting dimana aku dengan ekspedisi tentara bersama orang-orang Muhajirin menggempur kaum musyrikin di waktu subuh.”
(Siyar A’lam An-Nubala, I/375)

Abu Darda’ Radhiyallahu anhu berkata :
“Hanyasanya kalian memerangi musuh-musuh kalian dengan amal-amal kalian.”
(Fath Al-Bari, VI/30)

Disalin dari buku Kamu Al-Mukhtar, hal. 19-87

About This Blog

"I dedicate this blog to myself personally and to my brothers the other as an advice that can bring us closer to Allah.

I hope this blog can provide many benefits to humankind, especially to improve the quality of our faith in Allah."

About Me

"I am a Muslim, and I am proud to be a Muslim. I am very grateful to my Lord because He has made me a Muslim. I also gained will always beg Him for he always makes me a Muslim until I meet Him in the wilderness masyhar. I really love my religion, therefore, I will fight for it with gusto. if you are a Muslim and also love your religion, then we will meet in a state of loving. But if you are against me and my religion, then we'll be seeing in the field of jihad. whoever you are!!!"

Total Tayangan Halaman