Muhammad Yusrinal

Yang Terbaik Diantara Kalian Adalah Yang Mempelajari Al-Qur'an Dan Yang Mengajarkannya

Sarana Syirik Yang Perlu Dihindari

Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais

Dalam rangka menjaga kemurnian tauhid, para ulama madzhab Imam Syafi’i telah mengingatkan tentang wasilah (perantara, sarana), yaitu hal-hal yang dapat menyebabkan syirik, agar hal itu dihindari. Imam Syafi’i, misalnya, begitu pula dengan imam-imam lain dalam madzhab Syafi’i, melarang hal-hal yang dapat menjadi wasilah syirik, seperti menembok kuburan[16], meninggikannya[17], dan membuat bangunan di atasnya[18]. Demikian pula menulis sesuatu di atas kubur[19], memasang lampu di atasnya[20], dan menjadikan kuburan sebagai masjid[21].

Juga dilarang melakukan shalat dengan menghadap ke kuburan[22], berdo’a menghadap ke kuburan[23], melakukan thawaf mengelilingi kuburan[24], duduk di atasnya[25], mencium dan mengusap dengan tangan[26], memasang tenda dan naungan-naungan apa saja di atasnya[27], dan mengatakan, “Demi Allah dan demi keturunan kamu”[28] atau mengatakan, “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu.”[29]


Imam Syafi’i mengatakan, “Saya tidak menyukai ada masjid di bangun di atas kuburan, kuburan diratakan, atau dipakai shalat di atasnya sedangkan kuburannya tidak diratakan, atau melakukan shalat dengan menghadap kuburan.”[30]

Imam Syafi’i juga berkata, “Dimakruhkan menombok kuburan, menulis nama yang mati di atas kuburan, atau tulisan-tulisan yang lain, dan membuat bangunan di atasnya.”[31]

Beliau juga mengatakan, “Dan saya melihat para penguasa ada yang menghancurkan bangunan-bangunan di atas kuburan dan saya tidak melihat ada ahli fiqih yang menyalhkan hal itu. Hal itu karena membiarkan bangunan-bangunan itu di atas kuburan akan mempersempit ruang pemakaman/penguburan bagi orang-orang lain.”[32]

Imam Syafi’i juga menegaskan, “Saya tidak menyukai ada makhluk yang diagung-agungkan sehingga kuburannya dijadikan masjid, karena khawatir terjadi fitnah (pengkultusan) pada idirinya pada saat itu, atau orang-orang yang datang sesudahnya mengkultuskan dirinya.”[33]

Sementara itu, Imam Nawawi mengatakan, “Dimakruhkan menombok kuburan dan menuliskan sesuatu di atasnya. Apabila bangunan itu didirikan di atas kubur yang diwakafkan fi sabilillah, maka hal itu harus dirobohkan.[34]

Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki mengatakan, “Dosa besar yang kesembilan puluh tiga, sembilan pluh empat, sembilan puluh lima, sembilan puluh enam, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh delapan adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, memasang lampu di atasnya, menjadikan ibarat berhala yang disembah, thawaf mengeliliginya, mengusap-usap dengan tangan, dan shalat menghadapnya...”. kemudian beliau berkata lagi, “Peringatan! Enam perbuatan itu dimasukkan ke dalam kategori dosa-dosa besar, seperti terdapat dalam pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, hal itu tampak diambil dari hadits-hadits yang telah saya sebutkan.

Tentang menjadikan kuburan sebagai masjid, hal itu sudah jelas, karena Nabi Shalallahu alaihi wa sallam melaknat orang-orang yang melakukan hal itu. Nabi juga menilai, orang-orang yang melakukan hal itu terhadap kuburan-kuburan orang-orang shaleh dari umat beliau, sebagai makhluk terburuk pada hari kiamat nanti. Itu semua merupakan peringatan bagi kita, seperti dalam sebua riwayat, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam mengingatkan akan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.”[35]

Maksudnya, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam mengingatkan umatnya dengan hadits itu, agar umatnya tidak melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, dengan demikian mereka tidak dilaknat seperti dilaknatnya orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Adapun menjadikan kuburan sebagai masjid, maksudnya adalah shalat di atas kuburan atau shalat dengan menghadap kuburan (tanpa dinding pembatas). Maka kata “shalat menghadap kepadanya (ke kuburan)” merupakan pengulangan, kecuali apabila yang dimaksud dengan “menjadikan kuburan sebagai masjid” itu adalah “shalat di atasnya” saja.

Memang kesimpulam hukum keharaman itu dapat diterima apabila kuburan itu dimuliakan seperti kuburan seorang nabi atau wali, seperti yang disitir dalam riwayat Imam Muslim, dimana Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila terdapat orang-orang shaleh...”[36] Oleh karena itu, para ulama madzhab Syafi’i mengatakan, “Haram hukumnya, shalat menghadap kubur para nabi atau para wali.” Serupa dengan itu, shalat di atas kuburan, mencari berkah, dan mengagungkan kuburan.

Adapun perbuatan itu dimasukkan ke dalam kategori dosa besar yang nyata, hal itu sudah jelas dari hadits-hadits tersebut. Dan dapat dikiaskan dengan hal itu, segala sesuatu yang intinya pengagungan terhadap kuburan, seperti menyalakan lampu di atasnya dalam rangka mengagungkan kuburan, mencari berkah dari kuburan dan thawaf mengelilingi kuburan dalam rangka mengagungkan dan mencari berkahnya. Dan pengkiasan ini tidaklah jauh, lebih-lebih Nabi Shalallahu alaihi wa sallam telah menegaskan dalam hadits tersebut, bahwa orang-orang yang memasang lampu di atas kuburan akan dilaknat oleh Allah.

Adapun menjadikan kuburan sebagai sesembahan (berhala), hal itu dilarang berdasarkan hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, “Jangan kamu menjadikan kuburku sebagai berhala yang disembah setelah aku meninggal dunia.”[37]

Maksud hadits ini adalah, jangan kamu mengagungkan kuburku seperti penganut agama lain, mengagungkan sesembahan sesembahannya dengan sujud atau yang lain.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami selanjutnya mengatakan, “Perbuatan-perbuatan haram yang paling besar dan sebab-sebab yang menyeret kepada kemusyrikan adalah shalat di atas kuburan, menjadika kuburan sebagai masjid, dan membuat bangunan di atasnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh, maka kata makruh ini harus diartikan lain, yaitu haram. Sebab tidak mungkin para ulama membolehkan sesuatu perbuatan dimana Nabi Shalallahu alaihi wa sallam melaknat pelakunya, dan berita tentang laknat itu diterima dari Nabi dari generasi ke generasi.

Bangunan-bangunan di atas kuburan itu harus segera dihancurkan, begitu pula kubah-kubah yang ada di atasnya, karena bangunan-bangunan itu lebih berbahaya daripada masjid dhirar. Membuat bangunan itu merupakan tindakan durhaka kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, karena beliau melarangnya, dan beliau memerintahkan untuk menghancurkan kuburan-kuburan dibangun menonjol dari dataran tanah. Sedangkan lampu-lampu yang dipasang di atas kuburan haruslah dihilangkan, dan tidak boleh mewakafkan lampu-lampu, atau nadzar memasang lampu-lampu untuk kepentingan tersebut.”[38]

Sementara Imam Nawawi mengatakan, “Tidak boleh melakukan thawaf mengelilingi makam Rasulullah. Tidak boleh pula menempelkan badan pada dinding makam Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Pendapat ini diucapkan oleh Imam Abu Ubaidillah al-Hulaimi dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa makruh (tidak boleh) hukumnya mengusak kubur Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan menciumnya. Yang baik sesuai tata krama, adalah berdiri tegak jauh dari kubur Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, seperti halnya orang yang berada di hadapan Nabi ketika beliau masih hidup, berada agak jauh dari beliau.

Ini adalah pendapat yang benar, yang diucapkan oleh para ulama, dan mereka semua berpendapat sama. Dan seseorang hendaknya jangan terkecoh oleh pendapat dan perbuatan sementara orang-orang awam yang berlawanan dengan pendapat para ulama tadi, karena cara untuk mengikuti jejak Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan mengamalkan suatu ajaran adalah hanya berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan pendapat para ulama. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang awam dan orang-orang bodoh di kalangan mereka, dimana perbuatan itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, maka hal itu tidak dapat dipertimbangkan.

Sementara orang barangkali terdetik dalam hatinya, bahwa mengusap dengan tangan itu lebih mengena untuk mendapatkan berkah, maka hal itu menunjukkan kebodohan dan kedunguan yang bersangkutan. Sebab berkah itu akan dapat diperoleh hanya dengan perbuatan yang sesuai dengan syariat. Bagaimana mungkin kemurahan Allah dapat diperoleh melalui perbuatan yang bertentangan dengan ajaran yang benar.?”[39]

Imam al-Baghawi mengtakan, “Makruh hukumnya memasang tenda (naungan) di atas kuburan. Karena sayyidina Umar Radhiyallah anhu pernah melihat sebuah tenda di atas sebuah kuburan, kemudian beliau memerintahkan agar tenda itu dihilangkan. Kata beliau, “Biarlah amal mayat itu yang akan menaunginya.”[40]

Sementara dalam kitab al-Minhaj dan syarahnya, karya Imam Ibnu Hajar, terdapat keterangan yang intinya, “Dimakruhkan menembok kuburan dan membuat bangunan di atasnya. Demikian pula menulis sesuatu di atas kuburan, karena ada larangan yang shahih terhadap ketiga perbuatan ini, baik tulisan itu berupa nama mayit yang dikubur maupun tulisan lain, dan baik tulsan itu di atas papan yang dipasang di atas kepala mayit maupun di tempat yang lain.

Memang, Imam al-Adzra’i pernah membahas tentang diharamkannya menulis ayat-ayat Al-Qur’an di atas kuburan. Hal ini karena perbuatan itudapat melecehkan Al-Qur’an, di mana ayat-ayat itu akan diinjak-injak, dan terkena najis oleh nanah orang-orang mati, apabila terjadi pemakan yang berulang-ulang. Bagitu pula bila turun hujan. Imam Adzra’i juga mengkaji tentang dianjurkannya menulis nama mayit saja untuk sekedar diketahui sepanjang tahun, terutama kubur para nabi dan orang-orang shalih.

Beliau mengatakan, ‘Sekarang hal itu tidak diamalkan lagi. Karena para imam kaum muslimin dari timur sampai barat ditulis namanya di kubur-kubur mereka. Perbuatan ini diambil oleh orang-orang belakangan dari orang-orang terdahulu. Dan itu dilarang secara umum dengan adanya larang membangun di atas kuburan. Membangun kuburan diatas kuburan tentunya lebih besar dari sekedar menulis sesuatu di atas kuburan. Dan hal ini banyak terjadi di kuburan-kuburan yang mewakafkan fi sabilillah (musabalah), seperti terdapat, khususnya di Makkah, Madinah, Mesir dan lain-lain. Padahala mereka sudah tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Demikian pula menulis sesuatu di atas kuburan.

Apabila anda tahu bahwa perbuatan itu sudah merupakan ijma’ fi’li (kesepakatan para ulama) sehingga hal itu dapat menjadi hujjah sebagaimana mereka katakan, maka kami menjawab, bahwa hal itu dilarang, meskipun banyak dilakukan orang. Sebab perbuatan itu tidak pernah dinyatakan sebagai hujjah, meskipun oleh para ulama yang berpendapat bahwa hal itu dilarang.

Sekiranya perbuatan itu dapat disebut sebagai ijma’ fi’li, maka hal itu dapat menjadi dalil dan dapat dipakai pada saat keadaan zaman itu baik, dimana amar ma’ruf dan nahi mungkar dapat dikerjakan. Dan ternyata sejak masa yang lama hal itu tidak berjalan.

Apabila ada orang membangun kuburan yang sama dengan yang sudah ada, dan tidak untuk keperluan seperti yang sudah disebutkan di muka, dan itu sudah jelas. Maka seperti apa yang difatwakan oleh sejumlah ulama, bahwa semua bangunan yang ada di tempat yang akan dipakai untuk mengubur mayat di Mesir, sampai kubah Imam kita Syafi’i yang dibangun oleh seorang raja Mesir, harus dihancurkan. Semua orang seharusnya merobohkan bangunan-bangunan seperti itu, selama tidak khawatir akan terjadi mafsadah (hal-hal yang tidak diinginkan).

Apabila khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka hal itu harus dilaporkan kepada imam (penguasa) agar ia menangani hal tersebut.”[41]

Seperti dituturkan dalam kitab Hasyiyah as-Suyuthi ‘ala Sunan an-Nasa’i, Imam Baidhawi mengatakan, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani sujud kepada kuburan para nabi mereka. Mereka menghadap ke kubur-kubur itu seraya mengagungkannya. Mereka juga menjadikan kubur-kubur sebagai kiblat di mana mereka menghadap dalam shalat, do’a, dan lain-lain. Mereka juga menjadikan kubur-kubur itu sebagai berhala (sesembahan), maka Allah melaknat mereka dan melarang orang-orang Islam melakukan perbuatan seperti itu. Sumber kemusyrikan itu terjadi karena mengagungkan kubur dan selalu menghadap kepadanya.”[42]

Sementara itu Imam as-Suwaidi asy-Syafi’i mengatakan, “Kamu dapat melihat orang-orang meninggikan kuburan sangat tinggi, dan menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an di atasnya. Mereka membuat peti-peti dari kayu jati dan sebagainya untuk kuburan-kuburan itu. Di atasnya mereka kasih kain kelambu yang dihiasi dengan emas dan perak murni.

Mereka tidak puas dengan membangun kuburan seperti itu, dibikinnya jendela-jendela dari perak atau yang lain mengelilingi kuburan, mereka pasang pula lampu-lampu emas. Di atasnya mereka bikin kubah-kubah dari emas atau dari kaca yang diukir. Dibikinnya pintu-pintu yang dihiasi indah. Di pintu-pintu itu dipasang kunci-kunci dari perak atau dari yang lain agar tidak dicuri maling.

Semua itu bertentngan dengan ajaran agama yang dibawa oleh para Rasul, dan jelas menentang Allah dan RasulNya. Sekiranya mereka itu mengikuti jejak Rasulullah, seyogianya mereka melihat apa yang dilakukan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam kepada para sahabat, padahal mereka itu sebaik-baik sahabat Nabi. Orang-orang itu juga hendaknya juga melihat makam Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, bagaimana para sahabat memperlakukannya.”[43]

Imam Nawawi mengatakan, “Larangan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam untuk menjadikan kuburan beliau dan kubur orang lain sebagai masjid, hal itu hanyalah khawatir sikap yang berlebih-lebihan dalam mengagungkan kuburan, sehingga akan terjadi hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah. Bahkan, bisa jadi hal itu dapat menyebabkan kekafiran, seperti yang pernah terjadi pada umat-umat terdahulu.

Ketika para sahabat Radhiyallahu anhum dan para tabi’in memerlukan perluasan Masjid Nabawi, dimana umat Islam bertambah banyak, sementara perluasan masjid kemudianmenjadikan rumah-rumah para isteri Nabi menjadi berada di dalam masjid, termasuk dengan sendi-sendi rumah Aisyah Radhiyallahu anha dimana Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dimakamkan dan dua sahabat beliau, Abu Bakar dan Umar, maka para sahabat dan tabi’in membentuk tembok tinggi yang mengitari kubur Nabi Shalallahu alaihi wa sallam. Dengan demikian, kubur Nabi tidak kelihatan dari masjid. Karena bila tampak, hal itu dapat menyebabkan perbuatan yang dilarang.

Para sahabat dan tabi’in kemudian membuat tembok dari arah dua sudut di sebelah utara, dan dua tembok itu dibuat miring sehingga keduanya bertemu. Dengan demikian orang yang shalat tidak dapatmenghadap kubur Nabi Shalallahu alaihi wa sallam.”[44]

Dalam kitab al-Bahits ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits, hal. 103, terdapat keterangan sebagai berikut, “Perhatikanlah -semoga kamu dirahmati oleh Allah-, di mana saja kamu mendapati sebuah pohon yang selalu dikunjungi oleh orang-orang, mereka memuliakan pohon itu, mengharapkan kebebasan dan kesembuhan dari padanya, mereka juga memasang paku-paku untuk menggantungkan kain-kain sebagai bandulnya, maka tebanglah pohon-pohon itu.

Kesalahpahaman dan Sanggahannya

Sementara orang yang senang membuat bangunan-bangunan di atas kubur, berpendapat bahwa membangun masjid di atas kubur itu boleh. Dalilnya adalah kisah Ash-Habul Kahfi, di mana orang-orang itu membangun masjid di atas kubur Ash-Habul Kahfi.

Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir menjawab kesalahpahaman ini dengan dua jawaban :

Pertama, perbuatan tersebut dilakukan oleh orang-orang kafir dan musyrik. Oleh karena itu, hal itu tidak dapat dijadikan hujjah.

Kedua, sekiranya perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang Islam, maka mereka itu bukanlah orang-orang terpuji dalam perbuatan tersebut.[45]


Catatan kaki :

16. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lain-lain, dimana Nabi Shalallahu alaihi wa sallam melarang menembok kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.
Untuk mengetahui sikap Imam Syafi’i dan ulama lain tentang masalah ini, silahkan baca kitab-kitab, al-Muhadzdzab, 1/456; Raudhat ath-Thalibin, 1/652; al-Majmu’ V/266; as-Siraj al-Wahhaj, 1/114; an-Nawawi, Syarh Muslim, VII/307; dan al-‘Iqd ats-Tsamin, hal. 186.

17. Untuk mengetahui sikpa ulama madzhab Syafi’i, lihat Raudhat ath-Thalibin, 1/652; Az-Zawajir, 1/195

18. Untuk mengetahui sikap Imam Syafi’i dan ulama lain, lihat al-Muhadzdzab, 1/456; Raudhat ath-Thalibin 1/652, al-Majmu’ V/266, as-Siraj al-Wahhaj 1/114, Syarh Muslim VII/307.

19. Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi dan lain-lain, dari Jabir, bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam melarang penombokan kuburan dan menulis sesuatu di atasnya. Untuk mengetahui sikap Imam Syafi’i dan ulama lain dalam masalah ini, lihat al-Umm 1/278, al-Muhadzdzab 1/451, Raudhat ath-Thalibin 1/652, al-Majmu’ V/266, as-Siraj al- Wahhaj 1/144, dan al-‘Iqd ats-Tsamin hal. 186.

20. Berdasarkan hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, Allah melaknat kaum wanita yang berziarah kubur, orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan orang-orang yang memasang lampu di atas kuburan.”
Untuk mengetahui sikap Imam Syafi’i dan ulama lain dalam masalah ini, silahkan baca, az-Zawajir I/194, Fath al-Majid hal. 186.

21. Berdasarkan hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, “Laknat Allah semoga ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid.” Nabi Shalallahu alaihi wa sallam selalu mengingatkan akan perbuatan yang mereka lakukan. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.
Nabi Shalallahu alaihi wa sallam juga bersabda, “Ingatlah, orang-orang sebelum kamu telah menjadikan kuburan sebagai masjid. Ingatlah! Kamu jangan menjadikan kuburan sebagai masjid. Saya melarang melakukan kamu akan hal itu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lain-lain.
Untuk mengetahui sipak Imam Syafi’i dan ulama lain dalam masalahini, lihat kitab al-Umm 1/278, an-Nawawi, Syarh Muslim VII/38, az-Zawajir I/194.

22. Berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim dan lain-lain di mana Nabi Shalallahu alaihi wa salma bersabda, “Jangan kamududuk di atas kuburan dan jangan kamu shalat di atasnya.” Untuk mengetahui sikap Imam Syafi’i dan yang lain, lihat al-Umm I/46, an-Nawawi, Syarh Muslim VII/38, dan az-Zawajir I/194.

23. Dalil untuk masalah ini, lihat catatan kaki pada nomor-nomor yang telah lalu. Demikian juga sikap ulama madzhab Imam Syafi’i dalam masalah ini, lihat al-Majmu’ VIII/257.

24. Allah Ta’ala berfirman :
“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf, mengitari rumah yang tua (Baitullah)” (QS. Al-Hajj :29)
Orang yang thawaf mengelilingi kuburan, pada hakekatnya ia menyamakan kuburan dengan Baitullah yang dithawafi umat Islam. Untuk mengetahui sikap ulama Syafi’iyah, lihat al-Majmu’ VIII/257, az-Zawajir I/194, dan Tathhir al-Jinan hal.37.

25. Berdasarkan riwayat Imam Muslim dan lain-lain, dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah melarang penombokan kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.”
Untuk mengetahui sikap ulama Syafi’iyah, lihat an-Nawawi, Syarh Muslim VII/37.

26. Seperti diketahui, Allah tidak mensyariatkan bagi kita untuk mencium tempat tertentu selain Hajar Aswad. Allah tidak mensyariatkan kepada kita untuk mengusap sesuatu selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Apa yang dilakukan oleh sebagian orang di kuburan, dimana mereka mengusap-usap atau mencium benda-benda tertentu di kuburan adalah perbuatan yang berlebih-lebihan. Dan hal itu dapat menyebabkan syirik dan bid’ah yang berat, karena hal itu berarti menyamakan antara tempat-tempat suci dengan kuburan. Dan itu adalah perbuatan orang-orang sesat, namun mereka mengira mendapatkan petunjuk dari Allah. Untuk mengetahui sikap ulama Syafi’iyah tentang masalah ini, lihat al-Majmu’ VIII/257.

27. Dalil-dalil tentang hal ini telah disebutkan dalam catatan kaki yang terdahulu. Sedangkan untuk mengetahui sikap ulama Syafi’iyah dalam masalah ini, silahkan baca al-Majmu’ V/267.

28. Berdasarkan hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka ia telah musyrik.’ Lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/101.

29. Berdasarkan hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam yang menyanggah orang yang berkata seperti itu, Apakah kamu mau menjadikan diriku sebagai tandingan bagi Allah?’ Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/101.
30. Al-Umm I/246. Tampaknya Imam Syafi’i tidak bermaksud dengan kata-kata “kuburan diratakan’ itu dengan bumi, karena hal ini memang diperintahkan. Namun barangkali maksud beliau adalah menjadikan kuburan itu bertembok datar, atau yang lain di mana kuburanitu terlihat tinggi dari tanah. Wallahu a’lam.

31. Al-Majmu’ V/266.
32. Al-Majmu’ V/266.
33. al-Muhadzdza, I/456
34. As-Siraj al-Wahhaj I/114.

35. Shahih Bukhari, VII/747 hadits no. 4443 dalam kitab al-Maghazi, bab Aradh an-Nabi, Shahih Muslim I/377 hadits no. 531 dalam kitab al-Masajid dan tempat-tempat shalat, bab Larangan Membangun di Atas Kuburan.

36. Shahih Muslim, I/375-376 hadits no. 528 Kitab al-Masajid dan tempat-tempat shalat. Bab tentang Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan.

37. HR. Imam Ahmad, dalam kitabnya al-Musnad, II/266, dari Abu Hurairah, Imam Malik dalm al-Muwaththa’, I/172 (mursal); Mushannaf Abdur Razzaq, III/464

38. Az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair, I/195
39. Al-Majmu’ VIII/257-258
40. Al-Majmu’ V/266
41. Seperti disebutkan di dalam kitab al-‘Iqd ats-Tsamin, hal. 186
42. Hasyiyah Sunan an-Nasa’i II/42
43. Al-‘Iqd ats-Tsamin, hal. 185
44. Syarh Shahih Muslim, V/13-14
45. Tafsir Ibnu Katsir, III/78

About This Blog

"I dedicate this blog to myself personally and to my brothers the other as an advice that can bring us closer to Allah.

I hope this blog can provide many benefits to humankind, especially to improve the quality of our faith in Allah."

About Me

"I am a Muslim, and I am proud to be a Muslim. I am very grateful to my Lord because He has made me a Muslim. I also gained will always beg Him for he always makes me a Muslim until I meet Him in the wilderness masyhar. I really love my religion, therefore, I will fight for it with gusto. if you are a Muslim and also love your religion, then we will meet in a state of loving. But if you are against me and my religion, then we'll be seeing in the field of jihad. whoever you are!!!"

Total Tayangan Halaman