Contoh-Contoh Kemusyrikan
Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais
Para ulama madzhab Imam Syafi’i memperingatkan akan contoh-contoh kemusyrikan agar hal itu dijauhi. Imam Syafi’i dan sejumlah pengikutnya, misalnya melarang segala bentuk kemusyrikan, baik syirik besar maupun syirik kecil, seprti berdo’a kepada selain Allah[46], bersujud kepada selain Allah[47], ruku’ kepada selain Allah[48], nadzar kepada selain Allah[49], menyembelih binatang untuk selain Allah[50[, keyakinan bahwa seseorang itu dapat mengetahui hal-hal ghaib[51], bersumpah dengan menyebut selain Allah[52], menyatakan “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu”[53], dan mempunyai keyakinan bahwa sihir itu sendiri memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang”.[54]
Imam Syafi’i mengatakan, “Orang yang bersumpah dengan menyebut sesuatu selain Allah, seperti seseorang bersumpah, “Demi Ka’bah, demi ayahku, demi tempat ini, tempat itu, dan lain-lain”, kemudian ia melanggar sumpahnya itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat (denda sumpah).
Semua sumpah dengan menyebut nama-nama selain nama Allah, dilarang oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah merang kamu bersumpah dengan menyebut (nama-nama) nenek moyangmu. Siapa yang mau bersumpah, hendaknya dia bersumpah dengan menyebut nama Allah atau diam saja.”[55]
Kami diberi tahu Ibnu Uyainah, katanya, ia diberitahu az-Zuhri, katanya, ia diberitahu Salim dari ayahnya, kata ayahnya, “Nabi Shalallahu alaihi wa sallam mendengar Umar bersumpah dengan menyebut nama ayahnya. Kemudian Nabi bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya Allah melarang kamu untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyangmu.” Umar kemudian berkata, “Demi Allah, sesudah itu saya tidak pernah bersumpah dengan menyebut nama selain Allah.”[56]
Kata Imam Syafi’i selanjutnya, “Semua orang yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, saya tidak menyukai ia melakukan itu. Dan saya khawatir sumpahnya itu menjadi maksiat.”[57]
Sementara Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki mengatakan, “Dosa besar yang keseratus enam puluh tujuh adalah menyembelih binatang dengan menyebut nama selain Allah dengan cara yang tidak menyebabkan kafir, maksudnya dengan tidak bermaksud mengagungkan sesuatu yang di tuju dalam penyembelihannya, seperti menagungkan dengan cara beribadah dan sujud.”
Selanjutnya, Imam Ibnu Hajar mengatakan, “Menurut ulama penerus madzhab Syafi’i, diantara perbuatan yang menyebabkan sembelihan binatang itu haram dimakan adalah ketika menyembelih mengatakan, “Dengan menyebut nama Allah dan nama Muhammad”, ‘atau Muhammad Rasulullah’ atau ‘Muhammad’. Demikian pula apabila seseorang kafir kitabi (Yahudi dan Nasrani) menyembelih binatang untuk gereja, salib, Musa atau Isa. Begitu pula orang muslim menyembelih hewan untuk Ka’bah, Muhammad, atau menyembelih dengan niat ketaatan ritual untuk penguasa atau yang lain, atau untuk jin, semuanya itu menyebabkan hewan yang disembelih haram di makan, dan itu semua merupakan dosa besar.”[58]
Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam Ar-Rafi’i mengatakan, “Adapun nadzar yang diperuntukkan kepada makam-makam “keramat”, yaitu pada kubur seorang wali, ulama atau nama wali yang menempatinya, atau tempat-tempat yang dikeramatkan karena sering dikunjungi para wali atau orang-orang shaleh, maka apabila orang yang melakukan nadzar tersebut bermaksud -dan ini yang banyak terjadi dan dilakukan orang-orang awam- untuk menagungkan bumi, tempat, atau ruangan, orang yang dimakamkan di situ, atau orang-orang yang ada kaitannya dengan tempat-tempat itu, atau dengan niat menagungkan suatu nama, maka nadzar tersebut batal, tidak sah.
Hal itu karena mereka berkeyakinan bahwa tempat-tempat itu memiliki keistimewaan. Mereka menganggap bahwa tempat-tempat itu dapat menolak bala, mendatangkan keberuntungan, dan dengan nadzar itu, tempat-tempat itu dapat menyembuhkan dari penyakit. Sampai mereka melakukan nadzar untuk batu-batu, karena konon ada orang shaleh yang pernah bersanda pada batu-batu itu. Mereka juga bernadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak untuk sebuah kuburan. Mereka beranggapan bahwa kubur seseorang, atau tempat itu menerima nadzar, maksudnya dengan memberikan nadzar itu maksud seseorang dapat terkabul, misalnya orang skit bisa sembuh, orang hilang bisa kembali atau bisa diselamatkan, dan nadzar-nadzar lainnya.
Nadzar dengan cara seperti itu adalah batal, tidak diragukan lagi. Bahkan nadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak dan lain-lain pada suatu kuburan adalah batal secara mutlak. Termasuk nadzar untuk memasang lilin yang besar dan banyak di maka Nabi Ibrahim, kubur nabi-nabi yang lain, atau kubur orang-orang shaleh. Orang yang bernadzar itu tidak punya maksdu lain dengan memasang lampu di kubur-kubur itu, kecuali mencari berkah dan mengagungkan tempat-tempat itu, karena mereka mengira hal seperti itu merupakan ibadah. Hal ini tidak diragukan lagi kebatilannya. Menyalakan lampu seperti itu adalah haram, baik ada orang yang menggunakannya atau tidak.”[59]
Imama Nawawi mengatkan, “Apabila ada yang bernadzar untuk berjalan kaki menuju ke masjid selain tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masidil Aqsha), maka dia tidak wajib melakukannya, dan menurut madzhab syafi’i, nadzar tersebut tidak sah.”[60]
Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam Ibnu Hajjar al-Makki mengatakan, “Orang-orang yang menyembelih binatang tidak boleh menyebut, “Bismillahi wa ismi Muhammad” (Dengan menyebut nama Allah dan nama Muhammad).” Kata beliau, “Menyambung dua kata itu haram, karena hal itu berarti mempersekutukan Muhammad dengan Allah. Sementara hak Allah adalah sembelihan itu disebutkan namaNya saja sebagaimana dengan sumpah, harus disebut nama Allah saja.
Apabila ketika menyembelih itu menyebut nama Allah, kemudian nama Muhammad disebut agar memperoleh keberkahan saja, maka hal itu dimakruhkan.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami asy-Syafi’i berkata, “Hal itu maksudnya mereka tidak boleh bernadzar kepada selain Allah, mereka tidak boleh thawaf kecuali di Baitullah. Oleh karena itu tidak boleh nadzar untuk para wali dan para ulama shalihin. Tidak boleh pula melakukan thawaf mengelilingi kubur-kubur mereka, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu berthawaf mengelilingi kubur Syaikh Abdul Qadir Jailaini, kubur sayyidina al-Husain, Syaikh al-Badawi, Syaikh ad-Dasuqi dan lain-lain. Semua itu adalah perbuatan syirik, tidak ada perbedaan pendapat lagi dalam masalah ini.
Banyak pelaku bid’ah yang bodoh-bodoh bernadzar untuk orang-orang shaleh. Sebagaimana mereka mengirimkan uang untuk memasang kelambu dan membangun kubah, seperti banyak dilakukan orang-orang India dan Pakistan yang bernadzar untuk Syaikh Abdul Qadir Jailani. Perbuatan ini dilakukan orang-orang yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah.
Sementara orang-orang Syi’ah dari India dan Pakistan, mereka bernadzar menyerahkan hartanya untuk kuburan Ahli Bait di Najaf, Karbala, Khurasan dan Qum. Mereka sengaja datang dari berbagai penjuru dunia ke kubur-kubur itu, untuk melakukan thawaf, minta pertolongan kepada penghuni kubur, meminta agar penghuni kubur itu mengabulkan hajatnya, melepaskan dari kesusahannya, suatu hal yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh pencipta langit dan bumi.
Sebagaimana tidak boleh bernadzar untuk kubur para wali dan shalihin, tidak boleh pula mewakafkan rumah atau kebun untuk kepentingan kubur mereka. Barangsiapa bernadzar untuk selain Allah, ia tidak boleh memenuhi nadzarnya itu, bahkan dia harus meminta ampun kepada Allah, bertaubat membaca kalimat syahadat karena dia telah murtad, apabila ia telah tahu bahwa nadzar untuk selain Allah itu syirik.
Orang yang mewakafkan kebun atau binatang untuk kubur-kubur para wali, maka wakafnya itu batal (tidak sah). Apabila ada orang yang berwasiat seperti itu, maka wasiatnya juga batal. Kebun atau hewan tadi tetap menjadi miliknya. Kita mohon petunjuk kepada Allah untuk kita dan mereka.
Adapun pendapat orang yang mengatakan bahwa nadzar itu untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali, maka pendapat itu adalah bathil dan kesesatan yang nyata. Untuk apa wali dimasukkan ke situ? Apabila ia bermaksud sedekah, silahkan bersedekah kepada orang-orang fakir atas nama sendiri, kedua orang tuanya dan keluarganya. Dari mana pula ia tahu bahwa penghuni kubur itu adalah wali? Segala sesuatu itu akan dinilai bagaimana akhirnya. Adakalanya seseorang kelihatan baik, tetapi ternyata batinnya buruk; tampaknya muslim, tetapi batinnya kafir zindiq. Orang-orang yang melakukan perbuatan yang seperti itu sudah jelas ketidak benarannya dan kesesatannya, yaitu mereka menggiring kambing dan menyembelihnya di kuburan. Ketika anda ingkari hal itu, mereka berkata, “Sembelihan untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali”. Tujuan mereka tidak alain adalah untuk mengelabui dan memutarbalikkan kebenaran. Mereka tidak punya tujuan lain keculai untuk wali penghuni kubur.
Padahal para ulama telah menjelaskan, bahwa tidak boleh menyembelih hewan di suatu tempat yang dulu pernah dipakai untuk menyembelih hewan untuk selain Allah. Hal itu berdasarkan hadits riwayat Tsabit Adh-Dhahhak, katanya, “Ada seorang bernadzar untuk menyembelih onta di suatu tempat bernama Bawanah. Ia bertanya kepada Nabi untuk hal itu. Jawab Nabi, “Apakah di tempat itu ada patung-patung jahiliyah yang disembah?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Akhirnya Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Penuhilah nadzarmu, dan tidak boleh memenuhi nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah, dan tidak boleh pula memenuhi nadzar dalam hal-hal yang tidak dimiliki oleh manusia.”[61]
Catatan kaki :
46. Berdasarkan Firman Allah Ta’ala :
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankannya bagimu.” (QS. Al-Anfal : 9)
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS. Al-Mu’min : 60)
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?” (QS. Al-Ahqaf : 5)
Juga berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, Sesungguhnya doa itu adalah ibadah.”
Untuk mengetahui lebih jauh pendapat ulama Syafi’iyah, lihat al-I’lam bi Qawathi al-Islam, karya Imam Ibnu Hajar al-Makki, hal. 95, 71; Al-‘Iqd ats-Tsamin, dan Tahhir al-Jinan, hal. 38.
Adapun cerita sementara orang, bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Apabila saya mendapat kesulitan, saya akan pergi dan berod’a di kubur Imam Abu Hanifah, maka beliau akan mengabulkan”, Imam Alusi al-Hanafi mengatakan bahwa cerita ini sangat bohong bagi orang yang mengetahui penukilan riwayat.
Imam Syafi’i, begitu kata Al-Alusi, ketika datang di baghdad, di kota ini tidak ada kuburan yang diziarahi dan dipakai untuk berdo’a sama sekali. Bahkan pada masa Imam Syafi’i hal seperti itu tidak dikenal. Imam Syafi’i pernah melihat kubur para Nabi, para sahabat dan tabi’in di Hijaz, Syam dan Mesir. Penghuni kubur itu bagi Imam Syafi’i dan umat Islam seluruhnya tentu lebih utama dibanding dengan Imam Abu Hanifah. Ternyata Imam Syafi’i tidak berdo’a di tempat-tempat seperti itu.
Sementara murid-murid Imam Abu Hanifah yang hidup satu masa dengan beliau, seperti Abu Yusuf, Muhammad, Zufar dan al-Hasan bin Ziyad dan yang segenarasi dengan mereka, tidak pernah berdo’a di kubur Imam Abu Hanifah atau yang lain. Sedang Imam Syafi’i sendiri telah menegaskan dalam sebagian kitabnya, bahwa beliau tidak menyukai pengagungan kuburan, khawatir terjadi fitnah.
Cerita seperti di atas, itu hanya dibikin oleh orang-orang yang dangkal pengetahuan agamanya. Hal itu terjadi karena kemungkinan bersumber dari orang yang tidak dikenal identitasnya.
Hikayat ini andaikata dikatakan dari Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, maka riwayatnya tidak dapat diterima sebelum diteliti keshahihannya menurut kaidah Ahli Hadits. Apalagi kalau hikayat ini dinukil dari selain Nabi.
Termasuk dalam kaitan masalah ini adalah perbuatan yang boleh jadi dikerjakan oleh seorang sahabat, atau juga mungkin pendapatnya, yang hanya berdasar pada ijtihadnya yang bisa benar dan salah. Atau sahabat berpendapat tetapi dengan beberapa catatan atau syarat yang harus dipenuhi. Sementara periwayat pendapat itu tidak munuturkan syarat-syarat atau catatan itu secara lengkap, sehingga terjadi perubahan dalam penukilan.
Seperti halnya riwayat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau menyuruh ziarah kubur setelah sebelumnya belaiu melarangnya. Kemudian orang-orang yang cenderung kepada kebatilan menganggap bahwa ziarah yang disuruh atau diizinkan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam itu adalah ziarah seperti yang mereka lakukan, dimana mereka sengaja ziarah kubur untuk shalat di atasnya, dan minta pertolongan kepada penghuni kubur.
Dalil-dalil seperti ini antara dua hal : riwayat yang tidak dapat dibenarkan syari’at atau qiyas yang tidak dapat dijadikan landasan penganjuran ibadah, sementara diketahui bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya. Lihat Fath al-Mannam, hal. 372-373.
47. Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
Hai Maryam, taatlah kepada Rabbmu, sujud dan ruku’lah bersama dengan orang-orang yang ruku’.” (QS. Ali Imran : 43)
Untuk mengetahui sikap ulama madzhab Syafi’i tentang masalah ini, silahkan lihat : Raudhah ath-Thalibin VII/283-284, al-Jamal ala Syarh al-Minhaj, V/124, Mughni al-Muhtaj, IV/136, Al-I’lam bi Qawathi’ al-Islam, hal. 95, 63, 19,93,98, 20,21, dan Tathhir al-Jinan, hal. 37.
48. Berdasarkan firman Allah Ta’ala pada catatan kaki di atas (QS. Ali Imaran : 43). Sementara untuk mengetahui sikpa ulama madzhab Imam Syafi’i dalam masalah ini, silahkan lihat al-Jamal ‘ala Syarh al-Minhaj, V/124.
49. Berdasarkan firman Allah Ta’ala : “Dan hendaklah mereka melakukan nadzar-nadzar mereka.” (Al-Hajj : 29)
Nadzar adalah sebuah ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali karena Allah. Untuk mengetahui sikap ulama madzhab Imam Syafi’i dalam masalah ini, lihat al-Majmu’ VIII/435, Mughni al-Muhtaj, IV/371, Fath al-Majid, hal. 213, dan Qurrat ‘Uyun al_Muwahhidin, hal. 86,96.
50. Berdasarkan firman Allah Ta’ala : “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar : 2)
Dan firman Allah Ta’ala : “Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (QS. Al-An’am : 162)
Menyembelih binatang adalah suatu ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali karena Allah, dan harus menyebut dengan asma Allah. Tidak boleh memakan daging sembelihan yang ketika menyembelihnya tidak disebut asma Allah. Untuk mengetahui sikap ulama madzhab Syafi’i dalam masalah ini, silahkan baca Raudhatu ath-Thalibin VII/284, az-Zawajir I/167, Al-‘Iqd ats-Tsamin, hal. 222, dan Tathhir al-Jinan, hal. 37.
51. Berdasarkan firman Allah Ta’ala : “Dia adalah Tuhan yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.” (QS. Al-Jin : 26)
Dan firman Allah Ta’ala : “Katakan, tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml : 65)
Untuk mengetahui pendapat para ulama madzhab Syafi’i, lihat al-I’lam bi Qawathi’ al-Islam, hal. 69,71, al-‘Iqd ats-Tsamin al-Baghawi, IV/405-406.
52. Berdasarkan hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, maka ia telah musyrik.” Dalam riwayat lain disebutkan, “telah kafir.”
Untuk mengetahui pendapat ulama madzhab Syafi’i, lihat al-Umm, VII/61, al-Majmu’’, hal. 19, 227, 228, Syarh as-Sunnah, hal. 9, Ibnu Daqiq al-‘Ied, Ihkam al-Ahkam, IV/144, Hilyah al-Ulama, VII/256, Mughni V/288, dan Fath al-Bari, XI/530-531.
53. Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam kepada orang yang berkata begitu kepada beliau, “Apakah kamu mau menjadikan aku sebagai tandingan Allah? Katakan saja, Apa yang dikehendaki Allah saja.” (Lihat Syarh As-Sunnah, XII/360-361
54. Berdasarkan firman Allah Ta’ala : “Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).” (QS. Al-A’raf : 116)
Dan firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja dantangnya.” (QS. Thaha : 69)
Untuk mengetahui sikap ulama madzhab Syafi’i, lihat al-I’lam bi Qawathi’ al-Islam, hal. 98
55. Shahih al-Bukhari, XI/531, Shahih Muslim, III/126, Sunan an-Nasa’i, VII?4, Sunan Abu Dawud, III/569)
56. Sunan Abu Dawud, III/570, Sunan An-Nasa’i VII/4, Sunan Ibnu Majah, I/667
57. Al-Umm, VII/61
58. Az-Zawajir, I/284-285
59. Fath al-Majid, hal. 213
60. Al-Majum, VIII/471
61. Hadits riwayat Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, III/607, Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra X/83, ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, hadits no. 1341. hadits ini shahih menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, Talkhis al-Habir, IV/180. tentang keterangan Imam Ibnu Hajar Ali Buthami, lihat Tathhir al-Jinan, hal. 21-29.